Kompleksitas masalah yang terjadi semakin bangsa dan manusia Indonesia ini berkembang, akan saling berbanding lurus. Dalam kerangka berpikir rasional, hal itu adalah suatu kewajaran, karena itu tanda bahwa manusia masih hidup dan tidak statis pada zamannya. Implementasi dari itu adalah berkembangnya berbagai pemikiran dan prilaku manusia yang semakin bersifat separatis. Dalam kerangka sosial, itu akan berimbas pada sikap untuk memaintain artikulasi sosial yang samakin renggang. Dalam kerangka ekonomi jelas terlihat kasat mata—apa ada persamaan perlakuan antara orang yang berduit dengan tidak?. Dalam kerangka budaya dan agamapun seperti itu, dalam satu kabupaten bahkan mungkin kecamatan, orang-orang saling senang mewarnai dirinya masing-masing dengan simbol pembedanya antara satu dengan yang lain. Politik, tentu saja pembicaraan tentang ini akan semakin “nikmat” dan pastinya berujung pada saling tuding dan “lempar batu sembunyikan aib”.
Sudah jadi kebiasaan masyarakat Indonesia dewasa ini, bahwa kita gampang memberikan label pembeda antara kita dengan orang lain. Inipulalah yang merangsang lahirnya banyak sebutan-sebutan baru untuk sekelompok orang yang “duduk bersamaan”. Sebutan itu akan menelurkan lahirnya bentuk kelompok baru dalam kelompok-kelompok tadi. Itulah salah satu kompleksitas wacana yang berkembang. Efek domino bermunculan. Karena keasyikan dengan wacana yang dibangun atas dasar logo dan simbol masing-masing susah rasanya untuk melihat kebaikan dari kelompok lain. Dan apa yang sering kita dengarkan adalah teriakan tentang krisis kepercayaan, padahal apa yang dilakukan mungkin atas dasar kata toleransi.
Semakin banyak diferensiasi terhadap ide, tentu saja akan semakin susah dilebur—dan tentang kelompok baru, bukankah kita akan memulai sesuatu usaha baru yang katanya beda dengan yang sudah ada, sama artinya kita mulai membangun rumah baru di atas tanah kosong yang belum jelas tanahnya dimana—tidak ada pagar, tidak ada tanaman. Sama halnya kita melakukan infiltrasi terhadap rumah-rumah yang sudah ada, melakukan pewacanaan baru yang ingin kita wadahkan, dan mulai bergulat disitu—karena apa yang membuat masyarakat kita sekarang kehilangan arah adalah, masyarakat kita bingung terhadap pilihan yang begitu terlampau banyak. Artinya kedua usaha tersebut sama-sama dilakukan mulai dari nol. Dalam satu teori yang dikemukakan oleh J.Derrida yang terkenal dengan teorinya tentang dekonstruksi. Bahwa setiap yang dibawa oleh suatu wacana terdapat bagian yang akan membusuk, dan disitulah tugas kita untuk menambal hal-hal itu, mengais dan mencari tau hal-hal yang akan menjamur, tapi tidak menggunakan itu sebagai senjata baja untuk menjatuhkan.
Dalam pergulatan seperti ini, hal yang mesti kita bicarakan dan lakukan adalah tentang pembangunan karakter murni, bukan pembangunan karakter yang mengatasnamakan kelompok ini dan itu—berasal dari golongan hitam atau putih. Karena apa yang terjadi sekarang adalah budaya usang untuk balas budi jabatan—salah satu contoh kekolotan dalam membangun bangsa. Bertoleransi untuk mulai menerima kekurangan dan kelebihan pemikiran dan masukan.
Harus Ada Tua dan Muda
Perjuangan yang murni, bebas kontroversi, penuh gairah, syarat akan keberanian, bertindak eksplosif dan terkadang tanpa pikir panjang identik dengan perjuangan pemuda-pemuda Indonesia. Pergolakan menuju kemerdekaanpun diusung kaum-kaum muda, demonstrasi, pertikaian, juga diperankan langsung oleh “kita”,—kaum tua—seringkali menjadi dalang dalam hal tersebut lewat provokasi maupun analisa problematika bangsa secara apriori. Manusia yang kita kenal seperti daun-daun pepohonan yang memiliki masa maupun waktu dalam proses penuaan, tapi terkadang ada yang jatuh sebelum mencapai warna kecoklatan dan kering. Sewaktu muda memiliki ketegaran akan prinsip maupun cita-cita perjuangan untuk mencapai tujuan bangsa yang “adil dan makmur”—sewaktu mencapai posisi untuk menentukan berbagai macam kebijakan seketika luntur dan lepaslah nilai-nilai perjuangan yang semula diusung waktu lampau.
Hal ini bukan saja sekedar karangan buah bibir, akan tetapi betul-betul terjadi mulai bapak kita, bapak yang memperjuangankan lahirnya negeri ini sampai berbagai macam kasus saat ini yang menimbulkan bayangan spekulasi pendapat, kita tak tahu dengan jelas siapa yang “salah ataupun benar” atau mungkin tidak akan ada kebenaran. Perjuangan tidak akan terlepas dari lahirnya generasi tua dan muda yang tetap saling menjaga arah dari suatu perjuangan. Dalam banyak hal, kita memerlukan gairah-gairah sang pemuda untuk melanjutkan perjuangan dengan penuh antusias serta kepribadian, pada saat yang sama kita memerlukan rasa toleransi dan kepercayaan dari generasi tua lewat bimbingan dan “petuah” pengalamannya untuk suatu perjalanan estafet perjuangan, bukan seketika ingin menghancurkan keberadaan generasi tua untuk dapat membangun kembali sisa-sisa runtuhan fondasi “adil dan makmur”. Generasi tua yang mempersiakan penggantinya untuk dapat bertindak dan berpikir kritis akan adanya tantangan kehidupan sehingga dapat terus menjadi tonggak estafet perjuangan yang murni memiliki arti penting sebagai orang yang telah memperoleh pengalaman hidup yang lebih panjang dibanding tunas-tunas muda yang mungkin masih rapuh, bukan berarti kita secara dogma melakukan apa yang telah mereka lakukan ketika masa lampau untuk mengisi perjuangan ini. Secara sederhana antara kita sebagai generasi muda dan generasi tua memiliki keterikatan dalam membangun kembali bangsa ini untuk menjadi bergairah.
Perpaduan antara kedua unsur ini adalah bentuk dari toleransi terhadap usaha untuk mendapatkan kembali tujuan awal bangsa Indonesia yang terarah. Toleransi dalam penerimaan calon-calon pengganti perjuangan adalah hal yang paling penting dilakukan—tidak adanya pengganti berarti hilangpulalah harapan untuk perubahan bangsa yang besar. Langkah seperti ini dapat pula menjadi langkah pencegahan dalam monopoli kekuasaan yang sering menjadi kemelut permasalahan bangsa.
Membangun Toleransi
Toleransi yang selama ini kita pahami adalah menghargai seseorang berdasarkan Hak Asasi Manusianya, hanya saja hal ini menjadi bias kalau kita tidak memiliki fondasi dalam aplikasi dari toleransi ini. Selain itu, kita terbuai dengan hal-hal formal yang sering menguntungkan pihak-pihak tertentu saja—hanya orang yang memegang kekuasaan atau memiliki dollar lebih yang bisa mendapatkan toleransi, yang kemudian kita dihadapkan pada masalah tanpa esensi. Selama ini kita kehilangan pijakan dalam memanifestasikan toleransi ini dalam kehidupan bermasyarakat. Inilah mengapa kita perlu mematrikan ketiga unsur penting sebagai landasan, hal itu adalah Agama, Adat dan Aturan Formal. Ketiga hal inilah yang mungkin digambarkan oleh Ahmad Wahib dalam kalimatnya “Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis, aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan tanpa manghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat”.
Kita dihadapkan pada suatu peningkatan kualitas diri secara universal untuk dapat mematrikan sekaligus melaksanakan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat—karena apa yang ada, baik disetiap ajaran agama, Adat, maupun aturan-aturan formal pada hakekatnya adalah untuk membawa pada kehidupan madani tanpa menseparatiskan seseorang atau sekelompok orang. Ini adalah landasan awal dari setiap perbuatan yang mengatasnamakan toleransi dan hal-hal baik lainnya.