Saya katakan beruntung karena mahasiswa yang seperti ini adalah mahasiswa yang kebanyakan memaknai intelektual sebagai suatu kebutuhan, oleh karnanya mereka dalam sebagian besar malakukan tindak-tanduk atas dasar pengetahuan dan totalitas, dengan motif yang tentu jelas untuk kehidupan mereka yang lebih baik. Merreka yang merasakan “susah”nya hidup tentunya akan memiliki pikiran yang sama dengan orang-orang yang berjuang untuk kemajuan bangsa ini—melewati batas-batas tirani yang memungkinkan menjadi penghalang. Mengamati dari sudut kebutuhan, tentu mereka memiliki kebutuhan yang besar atas pendidikan. Terkadang nekat dalam bertindak, karena tidak memiliki apa-apa (harta), sehingga bisa dikatan sebagai golongan mahasiswa yang “bebas”. Pergerakan yang dibangun oleh golongan mahasiswa seperti ini dari tahun ke tahun merupakan pergerakan yang sering menimbulkan pergolakan—baik itu bersifat kres ataupun memiliki akhir yang tragis.
Saya pikir adalah suatu kewajaran ketika intelektual seperti ini dalam perjuangan, untuk tidak mengulangi nasibnya sampai pada keturunannya, melakukan maneuver yang bisa dikatakan “keras”, penolakan, demonstrasi dan cara-cara yang lain adalah bukti nyata dari keinginan yang kuat untuk mengubah, serta adanya tunggangan jiwa murni karena ingin mengubah—tidak semua golonganya melakukan hal seperti ini, hanya semangat ini yang melahirkan banyak moment perubahan bangsa kita sampai dengan saat ini—semangat dan penghargaan atas intelektualitaslah yang harusnya kita patrikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H