Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Ala Partai

13 Februari 2015   16:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:16 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perihal demokrasi merupakan sesuatu yang sangat familiar sekali kita dengar dinegeri ini, karena sekaligus merupakan sistem pemerintahan yang dianut, mulai dari resistensi terhadap demokrasi atau juga dukungan dengan berbagai macam bentuknya. Perorangan, kelompok, golongan dan pemerintah sendiri memiliki kebanggan yang begitu besar terhadap keberadaanya di Negara ini, sama besarnya dengan lawannya yang selalu saja mendiskreditkan sistem yang awal mula berasal dari zaman yunani. Di luar dari diskusi dan tanggapan tersebut, saya masih sangat ingat dengan ucapan-ucapan tokoh partai politik bahwa “demokrasi tak akan berjalan tanpa adanya partai politik”. Tentu saja hal itu sangat masuk akal di tengah keadaan bangsa Indonesia yang besar dan muncul dengan berbagai macam suku serta etnis didalamnya.

Seorang tokoh Islam dalam bukunya “Fajar Baru Islam Indonesia” sampai mengkategorikan faktor “demokrasi bangsa Indonesia” sebagai salah satu keuntungan nyata bahwa Disinilah Kebangkitan Islam akan di Mulai setelah bangsa di benua lain seperti zajirah arab, afrika maupun eropa mengalami kemunduran karena konflik dan keterbatasan masing-masing. Entah kenapa hal itu menjadi setitik harapan bahwa kejayaan Islam di Indonesia lewat demokrasi bukanlah hal yang utopia.

Tersadar bahwa seluruh komponen yang berkewajiban melaksanakan demokrasi termasuk didalamnya adalah partai politik, hal itu seketika luntur berhamburan selanjutnya, karena ciri demokrasi yang ada di partaipun tak beda jauh dengan praktek monarki dan oligarki, bukankah kedua hal itu sangat diolok-olok oleh kita saat ini? Sayangnya sampai dengan umur demokrasi di Indonesia sekarang, hampir seluruh suksesi kepemimpinan partai politik di Indonesia (terutama partai besar) menggunakan bekal karismatik dan ketakutan akan keruntuhan sebuah hegemoni, ujungnya tak lain tak bukan, faktor keturunan dan modallah yang akan menang.

Kita tengok Golkar, dengan pertarungan modalnya, melirik Demokrat dengan Ciri karismatik Personal, tak beda jauh dengan Gerindra dan PDIP. Sekarangpun berhembus hawa bahwa Hanura akan memilih aklamasi sang pendiri sebagai estafet perjuangan selanjutnya, dan yang lain tentu sangat dekat dengan praktek suksesi seperti itu. Setidaknya ada dua hal yang tersirat, pertama demokrasi dan partai politik sekali lagi hanyalah polesan wajah, kedua, kaderisasi yang ada dalam partai politik tak punya guna.

Bagaimana mungkin berbangga ketika diakui oleh berbagai Negara bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemajuan kalau si garda terdepan partai politik masih takut hilang suara karena tak punya modal dan karisma, atau juga hilang visi dan programnya karena tak dipegang oleh sang empunya keturunan darah dan silsilah. Kalau kita ingin mencari praktek Orde Lama disinilah tempatnya, dibangun atas nama partai politik, dilakukan dengan cara yang “halus”  dan berbeda, yes man menjadi pilihan utama.

Lepas dari banyaknya pertentangan kata dan tindakan oleh perorangan sebagai fungsionaris partai ataupun partai politik itu sendiri saat sekarang, hal inilah (bukan demokrasi ala partai) yang menurut saya memiliki peranan penting dalam memberi warna dalam partai politik (sangkaan). Bagaimanapun, kepantasan memimpin adalah sesuatu yang tentu saja sudah bisa diukur sejak dulu. Kriteria pemimpin muda, dengan historinya menjadi perbincangan hangat tapi tak diimbangi dengan kepercayaan, terutama sekali dari Raja dan Ratu yang sudah mapan meminpin partai bertahun-tahun. Alasan seperti “saya terpilih karena keinginan anggota” atau juga “karena alasan menyelamatkan partai” sama halnya dengan kalimat “negara sampai saat ini belum mensejahterakan rakyat secara adil dan merata karena berhadapan dengan keluasaan geografis, suku, budaya, etnis dan sebagainya yang ada di Indonesia” padahal Negara ini muncul dengan keunikan dan kelebihan yang berlimpah ruah. Kedua mitos yang dijadikan benteng dari kegagalan percepatan kemajuan.

Tentunya bukan demokrasi ala partai ini yang ingin dihidupkan, mengingat fungsinya yang bisa pula “menggoyangkan” pemerintahan. Kalau kita sedang ramai dengan revolusi mental, harusnya kitapun merevolusi partai, terutama keberanian untuk mengganti pucuk kepemimpinan. Semoga demokrasi menjadi dinamis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun