[caption id="attachment_55142" align="alignleft" width="300" caption="dok: pribadi"][/caption]
Matahari senja yang sedang beranjak tenggelam di garis horizon atau lebih dikenal dengan istilah sunset merupakan sesuatu yang menarik bagi banyak orang. Warna, bentuk, dan suasana yang muncul ketika memandang sunset membuat orang betah menunggunya.
Beberapa orang mengatakan tak lengkap ke Makassar bila belum memanjakan mata dengan memandang matahari di pantai Losari menjelang pergantian sore menjadi malam. Bukan tidak mungkin, keindahan panorama alam itu juga karena keberadaan sebuah pulau yang berada tepat di depan pantai Losari. Namun, tanyakanlah kepada para penikmat sunset, “apakah mereka pernah menjejakkan kaki di pulau yang bernama Lae-lae itu?”. Mungkin sebagian besar akan menjawab tidak atau belum. Padahal pulau itu hanya berjarak ± 500 meter dari pantai losari atau hanya butuh 15 menit berperahu dari pantai Losari.
Awal mula Nama Pulau Lae-lae
Syahdan dahulu disuatu masa, seorang keturunan Tionghoa Arab yang tenggelam disekitar pulau dan berteriak minta tolong kepada nelayan yang sedang memancing. Tetapi teriakan tersebut tidak terdengar oleh sang pemancing. Pria yang sedang menyabung nyawa tersebut memperkeras suara teriakannya. ”lae..lae..lae.., “teriaknya. Kata tersebut berarti mari..mari..mari.. yang diucapkan dengan maksud meminta tolong. Tak lama kemudian, suara teriakan tersebut akhirnya terdengar oleh sang nelayan yang kemudian mengambilnya dan membawa pria keturunan itu ke pulau. Namun sayang pria itu tidak lagi dapat tertolong nyawanya. Sebelum nafas terakhir dihembuskannya, pria tersebut sempat berpesan agar pulau itu dinamakan pulau Lae-lae dan dia dikuburkan disana
Pulau Laelae merupakan salah satu pulau dalam gugusan pulau atau Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kota Makassar, Kecamatan Ujung Pandang, Kelurahan Laelae, dengan luas daratan pulau 8,9 Hektar. Secara Geografis pulau terletak pada posisi 119o 23’33,1” BT dan 05o08’ 16,0” LS atau di Perairan Selat Makassar. Batas-batas administrasi meliputi; Sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Samalona, sebelah Timur dengan Kota Makassar, Sebelah Selatan dengan Tanjung Bunga, dan Sebelah Utara dengan Lae-lae Kecil.
Warga pulau Lae-lae sebagian besar bermatapencaharian sebagai nelayan. Data kelurahan Lae-lae menunjukkan bahwa nelayan di pulau yang dapat dicapai dalam waktu 15 menit dengan menggunakan jolloro dari daratan utama Kota Makassar (dermaga Kayu Bangkoa) ini berjumlah 300 orang. Nelayan-nelayan tersebut menggunakan alat tangkap seperti pancing, jaring, dan tombak. Areal penangkapan mereka tersebar mulai dari wilayah perairan kota Makassar seperti pulau Lae-lae, pulau Samalona, Kodingareng, hingga perairan kabupaten Pangkep seperti Liukang Tuppabiring dan Liukang Tangaya. Perairan pulau Lae-lae juga menjadi areal penangkapan ikan para pemancing baik nelayan maupun pemancing wisata. Tingkat pendidikan penduduk Pulau Lae-lae relatif lebih tinggi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Kelurahan tahun 2008, diketahui bahwa sekitar 52 penduduk adalah sarjana, 53 SMA, 300 orang dengan tingkat pendididkan SMP, dan 462 Tamat SD. Meskipun demikian jumlah warga yang tidak tamat SD masih lebih dominan.
Pesta Ambaring
Perairan pulau ini pada waktu-waktu tertentu juga menjadi areal penangkapan udang kecil (ambaring) dan budidaya rumput laut. Udang-udang kecil atau ambaring ditangkap dengan menggunakan sero’, sebuah alat tangkap yang berbahan jaring dan disetiap sudutnya diberi ujung bambu atau rotan yang melengkung. Harga ambaring berkisar antara 12.000 sampai 15.000 rupiah sekantong. Biasanya pembeli membeli borongan. Seorang yang membeli dalam jumlah banyak akan mendapatkan potongan harga. Tetapi kalau hanya membeli 2 atau tiga kantong maka harganya akan berlaku maksimal yakni 15.000 rupiah.
Menurut salah seorang warga, kegiatan penangkapan ambaring telah berlangsung semenjak dahulu. Biasanya musim penangkapan berlangsung pada bulan November hingga Februari.
Trauma Investasi
Tahun 1997, warga pulau Lae-lae terancam oleh sebuah rencana pembangunan yang digagas oleh Abdul Latif, seorang menteri dan sekaligus pengusaha pada masa Orde baru. Rencana investasi itu akan membuat Pulau lae-lae sebagai sebuah objek pariwisata kelas atas. Namun persoalan muncul manakala rencana itu juga mensyaratkan pemindahan penduduk yang bermukim di pulau Lae-lae. Hal ini tentu saha menuai penolakan dan perlawanan dari warga yang didukung oleh elemen sosial seperi mahasiswa dan LSM. Meskipun penduduk telah disediakan sebuah pemukiman khusus nelayan di Kampung Salodong, Biringkanaya Kota Makassar, namun warga pulau tetap tidak bergeming. Hingga pada akhirnya, penolakan warga menuai hasil, mereka tak jadi tergusur.
Pengalaman itu membuat warga menanggung trauma. mereka khawatir dengan agresifitas pembangunan di bibir pantai Losari juga akan merembes ke pulau Lae-lae. “kami tidak ingin menghambat pembangunan tetapi tolong jangan jadikan kami sebagai tumbal,” ungkap seorang warga. pada tahun 2005 warga pulau lae-lae bersama dengan beberapa LSM dan kelompok Mahasiswa kembali melakukan unjukrasa. Ketika itu dengan agenda penolakan terhadap Perpres No 36 Tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Menurut seorang tokoh masyarakat, terbitnya perpres itu memberikan peluang emas konspirasi antara pemerintah dan pengusaha membungkus rencana investasinya dengan label pembangunan untuk kepentingan umum.
Mereka yang berdiam di pulau Lae-lae adalah penduduk yang sudah menetap di pulau secara turun temurun selama puluhan tahun yang lalu. beberapa kali warga mengurus Sertifikat Hak Milik (SHM) ke kantor Badan pertanahan nasional (BPN) tetapi tidak memperoleh tanggapan.
“Pulau ini tempat kami lahir. Kalau dipindahkan bagaimana kami harus mencari nafkah?, demikian ungkap seorang warga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H