Tetesan surga yang jatuh ke Bumi. Itulah salah satu ungkapan pujangga warga negara asing yang singgah di bumi pertiwi. Mengapa? Tuhan telah menganugerahkan negara kita panorama alam yang luar biasa indah menawan. Laut, pantai, sungai, rawa, gunung, dan lain sebagainya semua dapat dijadikan obyek wisata karena memiliki pemandangan dan suasana yang dapat kita nikmati. Tidak sedikit para penghuni kota mencari ketenangan untuk sekadar me-refresh diri mereka di obyek wisata alami tersebut.
Gunung. Salah satu obyek wisata alam yang paling populer saat ini. Apalagi di Indonesia. Gunung-gunung di Indonesia terkenal ramah dan memiliki panorama alam yang sangat memanjakan mata setiap pengunjung. Ramah di sini maksudnya adalah, aktivitas pendakian di gunung-gunung di Indonesia tidak seekstrem di negara lain. Hal ini karena kondisi musim di negara beriklim tropis dan tekstur jalur pendakian yang mudah untuk dilalui. Sederhananya, mudah untuk didaki, tetapi menyajikan pemandangan alam yang dapat bersaing dengan gunung-gunung ekstrem di luar Indonesia.
Tidak ekstrem tetapi banyak memakan korban. Mengapa? Se-santuy apapun kondisi jalur pendakian, tetap saja kegiatan outdoor itu wajib melengkapi peralatan sesuai standar keamanan. Jika melakukan pendakian tanpa persiapan yang memadai, itu bisa diartikan kita hanya mengantar nyawa ke gunung. Tetapi jangan takut. Karena jika kita mengikuti aturan yang ada, pendakian akan memberikan kesan dan pelajaran hidup yang luar biasa. Apa iya? Jika dibahasakan dengan bahasa para pendaki pada umumnya, mereka akan berkata “lo ga akan ngerti sebelum lo cobain sendiri”.
Cari apa ya di gunung? Pertanyaan ini pasti akan muncul terutama bagi mereka yang kurang minat dengan kegiatan-kegiatan outdoor. Pengalaman. Kata itu akan sangat menjawab pertanyaan di awal paragraf ini. Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari sebuah perjalanan. Walaupun tidak menutup kemungkinan, banyak pendaki yang kapok untuk ikut mendaki lagi dan tidak menemukan pelajaran hidup yang biasanya dinimkati oleh para pendaki lain yang menemukan hal tersebut.
Terus pelajaran hidup seperti apa ya? Setiap pendaki memiliki tafsirannya masing-masing untuk menjawab pertanyaan ini. Jika pertanyaan itu ditanyakan kepada saya, jawaban pertama adalah melatih mental. Di gunung, saya dituntut hidup mandiri. Bagaimana untuk bisa survive dengan kondisi jauh dari keluarga. Saya yang dari kecil kebutuhannya selalu dipenuhi dan diatur orang tua, dalam perjalanan pendakian seperti workshop mengurusi kebutuhan sendiri. kegiatan seperti mengatur keuangan, logistik, peralatan, dan lain-lain mendidik saya untuk menjadi manusia yang lebih dewasa.
Pelajaran kedua adalah komunikasi dan sosialisasi. Saya yang juga dari kecil disebut anak rumahan, dalam perjalanan pendakian, mau tidak mau, saya harus bisa memberanikan diri untuk lebih bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Saya dituntut untuk berani menolong dan meminta pertolongan kepada sesama. Hal ini yang paling saya suka. Dari sini saya merasa terbangun mindset di dalam diri saya untuk bisa bermanfaat untuk orang lain. Dari sini juga saya merasa bahwa salah satu bentuk dari kebahagiaan adalah bisa menebar manfaat untuk sesama.
Pelajaran selanjutnya adalah sabar. Ketika di gunung, kadang cuaca tak menentu. Kadang ada saja kesalahan-kesalahan anggota tim yang merepotkan. Kadang juga ke-apes-an lain seperti alat hilang, kamera patah, logistik menipis dan lain-lain. Kejadian semacam itu mendidik saya untuk bersabar. Sabar menghadapi kondisi yang tak sesuai dengan ekspektasi. Sabar menjalani hidup yang tak seperti di rumah.
Pelajaran terakhir yang ingin saya ceritakan dalam tulisan ini yaitu belajar karakter manusia dan seni menghadapinya. Ketika kita menghadapi teman yang terburu-buru dalam perjalanan, kita harus mengimbanginya dan sesekali mengingatinya. Ketika menghadapi teman yang banyak makan dan malas mengerjakan kebutuhan tim, kita harus sabar mengajaknya secara persuasif. Ketika menghadapi teman yang mulutnya rewel dan banyak mengeluh, kita harus bisa menjadi pendengar yang baik dan bisa meredam keluh kesahnya. Ketika menghadapi teman yang kurang kuat, kita harus menunggunya. Ini salah satu ujian yang paling berat karena teman semacam ini bisa mengancam kita tidak bisa menggapai puncak. Spot pengambilan foto yang paling instagramable. Jika kita adalah yang paling diandalkan dalam tim, kita harus rela sebagian teman melanjutkan ke puncak lebih dulu, sedangkan kita menunggu teman yang sudah tidak sanggup melanjutkan pendakian. Karena salah satu rumus sederhana dalam pendakian adalah jangan tinggalkan teman sendirian dalam jalur pendakian. Selain itu, puncak bukan tujuan utama. Tujuan utama pendakian adalah bisa kembali ke rumah masing-masaing dengan selamat. Hal-hal ini sesuai dengan salah satu hadits Rasulullah Saw. bahwa salah satu cara untuk mengetahui seseorang baik atau tidak adalah dengan melakukan perjalanan dengannya.
Sebenarknya masih banyak lagi pelajaran berharga yang bisa kita nikmati dari sebuah pendakian. Semua tergantung siapa kita dan dengan siapa kita melakukan pendakian tersebut. Jika kita melihat perilaku yang salah dari seorang anggota pendaki maka berbaiki ia dan jangan mengikutinya. Jika melihat perilaku baik dari seorang anggota pendaki maka ikuti dia dan dukung perilakunya. Semoga alam Indonesia selalu lestari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H