Mohon tunggu...
Muhammadibrahim Halim
Muhammadibrahim Halim Mohon Tunggu... lainnya -

.: diet ngopi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

SYL, Alasanku Tak Pilih JKW-JK

4 Juli 2014   06:56 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:33 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SECARA primordial tentu wajar dan bukan sebuah aib bagi saya jika menentukan pilihan pada Pilpres 2014 dengan mencoblos pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Tapi rasa-rasanya saya tidak ingin mendasarkan pilihan saya atas pijakan primordialisme itu. Bukan tidak suka dengan JK. Bukan ingin mengesampingkan jasa-jasa beliau saat masih Wapres dulu sehingga infrastruktur Sulsel dan kawasan timur Indonesia berkembang pesat. (meski, konon, perusahaan-perusahaan yang menang tender megaproyek itu adalah perusahaan milik JK juga, entahlah). Who care? Yang jelas APBN kita sedikit banyak mengalir juga ke wilayah timur secara berimbang dan proporsional.
Maaf saja. Saya tak memilih JK (kali ini) karena ia berpasangan dengan Jokowi. Apa salah Jokowi? Tidak ada yang salah.
Saya tahu ini realitas politik dan realitas demokrasi kita saat ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa sekarang hanya ada dua pilihan pasangan calon Presiden-Wakil Presiden RI. Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta.
Kenapa kalau JK memilih menjadi wakil Jokowi? Tidak boleh? Memang boleh. Tapi saya kira di situlah kejanggalannya. Jokowi itu siapa? Prestasinya apa? Lantas, sudah tahu kan siapa itu JK? Sudah tahu juga kan bagaimana ia telah banyak memberi bukti saat dipercaya sebagai wakil presiden?
Okelah, mau-maunya JK dong! Toh, saya gak direpotin juga secara langsung. Kalau begitu, perdebatan selesai. Mau-maunya saya juga dong kalau tidak memilihnya.
Nah, saya masih ada alasan lain lagi mengapa memilih tak (ikut) terjebak dengan mudahnya dengan kecanggihan pencitraan Jokowi yang ternyata sudah berlangsung sejak ia masih menjabat Wali Kota Surakarta. Sederhana saja.
Menurut subjektifitas saya, Jokowi tak lebih baik dibanding puluhan wali kota atau bupati yang ada di Indonesia. Sebagai Gubernur DKI, Jokowi masih "hijau" dibanding sekian puluh gubernur lainnya yang ada di Indonesia. Tarolah saya sebut beberapa di antaranya. Di Sulsel, dulu Kabupaten Sinjai punya bupati visioner dan melindungi rakyat kecil hingga yang ada di pelosok-pelosok, namanya Rudianto Asapa. Bedanya, Jokowi lebih dekat dengan episentrum negara ini, Jakarta, sehingga dengan mudahnya wartawan bisa langsung mempublikasikan aktifitasnya. Untuk bupati, cukup itu saja sampelnya. Bupati/wali kota lainnya tentu masih banyak lagi yang prestasinya lebih mentereng dibanding Jokowi tapi luput dari liputan massif para wartawan.
Untuk level gubernur, wah jangan ditanya lagi. Jika dibanding dengan Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo atau Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Jokowi masih gubernur kemarin sore, tentunya. Keunggulannya cuma itu saja, ia telanjur sudah jadi media darling.
Mau bilang Jokowi langsung 'gebrak' Tanabang setelah dilantik? Akh, lihat saja sekarang Tanabang bagaimana lagi? Googling sajalah, tak perlu saya yang ulas, nanti dikira black campign.
Intinya, alasan paling kuat bagi saya untuk tidak pilih Jokowi-JK, yah karena akal sehat saya tak bisa direcoki dengan metode mie instan. Mie instan itu menggugah selera. Easy cooking. Rasanya juga enak. Tapi tunggu setelah beberapa puluh menit saja, perut Anda pasti akan keroncongan lagi.
Kalau begitu, berarti saya pilih Prabowo? O, No. Saya sudah putuskan untuk tak memilih di Pilpres kali ini. Saya hanya berharap, lima tahun ke depan, partai-partai kita. Politisi-politisi kita. Dan sistem demokrasi kita bisa lebih rasional dalam mengusung calon pemimpin yang tepat. Selamat memilih bagi yang sudah menentukan pilihan. Sorry, I STAND ON NOTHING CHOICE.
(saya tak meladeni perdebatan. maaf kalau Anda ngomong sendiri di wall ini)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun