POLITIK pencitraan Joko Widodo tak bisa dipungkiri menjadi faktor utama yang mengantarnya ke tampuk teratas kepemimpinan nasional. Dalam langgam politik masa kini, politik pencitraan ibarat cendawan yang tumbuh selepas hujan. Mulai dari organisasi kepemudaan, kepala desa, calon anggota legislatif, calon bupati, walikota, gubernur, hingga calon presiden semuanya ‘menjual diri’ dengan konsep pencitraan.
11 tahun yang lalu, adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang meledakkan virus politik pencitraan hingga magnitude-nya merambah ke seantero Nusantara. SBY smengeksplorasi sejumlah potensi dirinya untuk meraih empati dan simpati rakyat hingga sukses melenggang ke Istana dengan embel-embel presiden pertama produk pemilihan langsung (Pemilu 2004).
SBY dicitrakan sebagai sosok politisi terzolimi oleh presiden berkuasa ketika itu, Megawati Soekarnoputri. Tak cukup mengeksplorasi kesan terzolimi, disingkirkan, dipojokkan, dan diremehkan, SBY juga memberdayakan dengan baik situasi yang memosisikannya seolah teraniaya. Momentum pengunduran dirinya dari  kabinet Mega pun semakin mengapungkan namanya ke permukaan.
Potensi lahiriah yang dimiliki SBY seperti; bertubuh tinggi tegap, aura yang jarang ketawa, serius, dan terkesan tegas adalah modal besar. Itulah yang di-blow up maksimal demi melahirkan citra sebagai calon pemimpin ideal bagi Indonesia. Perlu diingat, pada momentum pilkada langsung (pertama) citra diri kandidat memang sangat menentukan.
Tentu saja politik pencitraan di Indonesia tidak lahir di zaman SBY. Politik serupa sudah banyak disaksikan penulis saat kuliah S1 di awal tahun 2000-an. Saat pemilihan Ketua BEM, misalnya, mulai dari nama partai, pose kandidat dalam pamplet-pamplet maupun baliho, hingga pendekatan ke calon pemilih sudah ala-ala pencitraan. Namun massifnya politik pencitraan memang mulai booming di era SBY. Oleh politisi, pencitraan pun dianggap jalan pintas membangun imaji diri. Bahwa kelak tidak sesuai karakter yang dicitrakan, itu lain soal.
Bagaimana politik pencitraan ala Joko Widodo? Menyimak dan mencermati kegemilangan pencitraan ala Jokowi mulai saat ia bertarung pada Pilkada Gubernur DKI Jakarta hingga Pilpres 2014, tidak berlebihan menyebut pencitraan politik ala Jokowi adalah penyempurnaan dari pencitraan ala SBY.
Jika SBY menjelma menjadi simbol perlawanan yang lemah atas yang kuat (relasi kabinet Mega) maka Jokowi menyempurnakannya dengan mencitrakan dirinya sebagai teman dari mereka yang lemah. Hal ini tercermin dari aktifitas blusukan yang semakin massif dan luas saat Pilkada Gubernur DKI dan Pilpres RI 2014.
Jika SBY mengelaborasi potensi fisiknya untuk mencitrakan diri tegas, bijaksana, dan berwibawa, maka Jokowi juga melakukannya, bahkan jauh lebih sempurna. Postur kurus, wajah ndeso (kampungan), lugu/polos, dan berpenampilan sederhana, tak dinyana justru berhasil membuai masyarakat. Apalagi Jokowi mendapat sokongan pemberitaan dari media massa yang begitu besar sehingga ia disimbolkan sebagai calon pemimpin yang merakyat, sederhana, dan pelindung wong cilik.
Menjadi media darling sejak menjabat Walikota Surakarta (Solo) juga menjadi faktor yang memudahkannya untuk segera menundukkan ‘ganasnya’ media-media di Jakarta. Nyaris semua aktifitas Jokowi mendapat perhatian dari media massa, mulai elektronik, cetak, hingga online. Jangan lupa juga, penguasaan opini publik melalui media social (new media) ikut memberi andil besar terhadap kesuksesan Jokowi.
Pola-pola politik pencitraan terus diterapkan Jokowi, bahkan setelah menjalani tugasnya selama setahun ia tak pernah lepas dari polesan pencitraan. Politik pencitraan tak hanya digunakan untuk mengantarnya duduk di singgasana RI 1 tapi ternyata politik pencitraan tetap dilanjutkan untuk mengawal setiap kebijakannya.
Mari menelisik beberapa fakta menarik bagaimana Jokowi menggunakan tameng pencitraan untuk melindungi dirinya dari serangan para pengeritik. Pertama soal janji kabinet ramping yang belakangan (ternyata) tetap tidak ramping. Selain dinilai gagal memenuhi janji perampingan, Jokowi juga gagal total memenuhi janji bahwa kabinetnya bukan kabinet bagi-bagi ‘rente’.