(Potret Ruang Publik Digital dan Demokrasi)
INDONESIA termasuk salah satu negara dengan iklim demokrasi paling terbuka dan sehat di dunia. Sebagai negara dengan tingkat pluralisme yang tinggi, baik dari segi agama, ras, budaya, suku, hingga bahasa, Indonesia oleh dunia diakui telah melewati berbagai ujian konflik multilatar tersebut dengan baik.
Riak-riak tentu saja ada. Tak hanya peluh keringat dan air mata yang menjadi bumbu tak sedap atas berbagai konflik yang pernah ada, tetapi juga darah kerap kali menetes sebagai tumbalnya. Meski demikian, dibanding berbagai negara lain di belahan dunia di mana konflik menjadi awet dan terus menghantui penduduknya, Indonesia tetap menuai pujian atas keberlangsungan demokrasi yang terbuka dan sehat.
Dalam konteks pemahaman demokrasi pada praktek politik di Indonesia, kita memahami, melihat, dan merasakan bersama bahwa politik di Indonesia memiliki dinamika yang cukup tinggi. Iklim politik di Indonesia mengalami pasang surut. Bahkan kerap kali kita menyaksikan terjadi perseteruan di tengah-tengah masyarakat akibat kekecewaan dan keputusasaan politik.
Momentum politik seperti pemilihan anggota legislatif, pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten hingga provinsi, dan juga pemilihan presiden dan wakil presiden kerap memicu dan melahirkan apatisme di kalangan masyarakat akibat disparitas harapan yang mereka dambakan dengan kenyataan yang ada di hadapan mereka kelak.
Kedewasaan berdemokrasi yang semakin matang dengan sebaran yang juga semakin luas mengangkat citra Indonesia di mata dunia. Jika menyimak panas dan tegangnya situasi politik di Indonesia pada dua dekade terakhir, kerap dikhawatirkan berujung konflik berdarah bahkan perang saudara. Namun, semua dugaan itu tidak terbukti. Sekali lagi, kedewasaan berdemokrasi di Indonesia menunjukkan tanda yang baik.
Meski tak pernah berujung dengan konflik berdarah dan perang saudara, setidaknya di tingkat pusat (pertarungan politik nasional), kejenuhan atas berulangnya disparitas harapan dan kenyataan dari iklim politik Tanah Air sangat terasa. Lihat saja misalnya kegaduhan politik berkepanjangan yang dimulai saat lengsernya Presiden kedua RI, Jenderal HM Soeharto.
Presiden BJ Habibie (presiden ketiga) hanya bertahan seumur jagung yang kemudian memunculkan Abdurrahman Wahid sebagai suksesornya sebagai presiden keempat. Pun demikian dengan Abdurrahman Wahid yang biasa disapa Gus Dur. Ia hanya mampu bertahan tiga tahunan lebih alias tak menyelesaikan mandatnya satu periode (lima tahun).
Kegaduhan politik terus berlanjut. Naiknya putri Proklamator Kemerdekaan RI Soekarno, Megawati Soekarnoputri , bukan jaminan keadaan menjadi tenang. Megawati pun bernasib sama dengan Habibie dan Gusdur. Turbulensi politik nasional memaksanya harus lengser sebelum periodenya berakhir hingga akhirnya model demokrasi terbaik dicapai di mana rakyat memilih langsung presidennya.
Dari rahim demokrasi pemilihan langsung itulah terpilih Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, yang disebut-sebut pemimpin pertama yang dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis. Euphoria panjang pun terjadi. Dengan raih kemenangan yang dominan (lebih 60 persen), SBY dengan ‘jumawa’ bisa mengatakan bahwa rakyat bersamanya.
Namun, masa bulan madu antara SBY dengan rakyat ternyata tak langgeng-langgeng amat. Ia memang berhasil menyelesaikan periode pertamanya dengan mulus, bahkan kembali terpilih pada periode kedua dengan pasangan wapres yang berbeda, dari Jusuf Kalla (periode pertama) ke Boediono (periode kedua).
Gaya dan model pengambilan keputusan yang cenderung lamban dan kerap ragu-ragu akhirnya menjatuhkan citra dirinya yang sangat bagus di awal-awal kepemimpinannya. Di akhir masa jabatannya, SBY dikenang dan dilabeli sebagai presiden peragu dan penakut. Dan di akhir masa jabatannya pula, citra bersih dari kabinetnya yang berhasil membuai rakyat akhirnya runtuh seketika ketika ‘bintang-bintang’ iklan antikorupsi dari Partai Demokrat (penyokong utama SBY) ternyata digelandang oleh KPK ke bui karena terbukti melakukan korupsi.
SBY dianalogikan seperti makan tebu. Awalnya manis tetapi ujungnya hambar. Maka rakyat pun kembali menaruh harapan besar bakal memiliki pemimpin yang ideal; manis dari awal hingga akhir, setelah era SBY tutup buku karena tuntutan undang-undang.
Dan harapan untuk mendapatkan pemimpin seperti Satrio Piningit pun seperti turun dari langit. Sosok Joko Widodo, seorang pengusaha mebel dari Solo langsung moncreng ke seantero Nusantara. Strategi pencitraan yang jauh lebih canggih dan terencana (baca: lebih sempurna) dari pencitraan ala SBY ternyata sangat ampuh mengapungkan namanya hingga bocah-bocah di kampung terpencil pun mengenalnya.
Mengawali karier politik sebagai Wali Kota Surakarta (Solo) Jawa Tengah selama dua periode kemudian hijrah untuk memimpin Ibu Kota Negara, DKI Jakarta, hingga akhirnya memenangi pemilihan presiden, Jokowi berhasil membuai 140 juta jiwa rakyat Indonesia.
Sosoknya yang sederhana, merakyat, tegas, bersih, dan sejumlah phrasa baik lain yang dilekatkan media padanya, membuat keyakinan besar dari jutaan rakyat bahwa Indonesia bakal menjadi semakin baik. Pendek kata, Jokowi dielu-elukan sebagai produk demokrasi paling demokratis yang pernah ada di Indonesia.
Namun, apa yang terjadi setelah Jokowi-Jusuf Kalla dilantik? Ternyata, nasib yang sama dengan SBY pun dialami Jokowi. Bahkan, masa bulan madu dengan rakyat dan gegap gempita pesta kemenangan lebih singkat. Tak sampai 100 hari kerja, nada sumbang mulai mengalir deras, bukan saja berasal dari rakyat yang bukan pendukungnya tetapi juga pendukung dan pemilihnya sendiri mulai melakukan penjelek-jelekan, pembusukan, kritik pedas atau istilah populernya, bully.
Bagaimana bisa nada sumbang secepat itu muncul? Penyebabnya tentu saja dari Jokowi sendiri. Bully terhadap Jokowi dimulai ketika ia dengan terang-terangan inkonsisten terhadap janji pemilihan anggota kabinet yang tidak transaksional dan akan merampingkannya. Alhasil, janjinya hanya pepesan kosong. Banyak anggota kabinet merupakan produk transaksional dengan partai-partai pendukungnya. Begitu pula dengan janji merampingkan kabinet, ternyata proporsinya tetap gemuk.
Badai bully terhadap Jokowi semakin kencang menyusul deretan inkonsistensi lainnya bermunculan. Janji saat kampanye untuk tidak menaikkan BBM pun dilanggarnya sendiri. Tak sampai seratus hari kerja, Jokowi dengan enteng mengumumkan kenaikan harga BBM.
Janji menunjuk Jaksa Agung bukan dari kalangan partai politik juga akhirnya pepesan kosong belaka. HM Prasetyo yang petinggi parpol pendukun pasangan Jokowi-JK ditunjuk jadi Jaksa Agung. Sampai di situ, oleh orang Jawa sendiri mengeluarkan adagium terkenal untuk mem-bully inkonsisten Jokowi dengan ungkapan, “isuk dele sore tempe” (pagi kedelai sore tempe).
Inkonsistensi berikutnya yang dilakukan Jokowi yakni janji mewujudkan penyelenggara negara yang bebas korupsi. Inkonsistensi muncul setelah ia mengirim nama Budi Gunawan sebagai Calon Kepala Polri yang ternyata akhirnya ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka korupsi. Setali tiga uang, desakan public agar Jokowi bertindak tegas atas kriminalisasi Polri terhadap KPK justru mengesankan pembelaannya terhadap Polri.
Alih-alih memerintahkan Polri menghentikan kriminalisasi terhadap KPK, Jokowi justru menonaktifkan Ketua KPK Abraham Samada dan Wakil Pimpinan KPK Bambang Wijayanto.
Juga masih segar dalam ingatan public terhadap inkonsistensi Jokowi terhadap swasembada pangan. Saat masa kampanye Jokowi menjanjikan agar impor sapi dihentikan. Faktanya justru setelah menjabat ia meminta agar impor sapi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan daging nasional. Padahal sebelumnya ia berkoar bisa mengatasi kebutuhan tersebut tanpa impor.
Dan jangan pula lupa dengan janji menjadikan Indonesia sebagai produsen mobil nasional (memproduksi mobil sendiri) seperti mobil Esemka yang dirancangnya saat masih Wali Kota Solo. Akhirnya justru Jokowi “mengemis” ke negeri Jiran Malaysia agar mobil produk mereka, Proton, masuk ke Indonesia.
Kenaikan harga beras dan juga kenaikan BBM baru-baru ini, adalah yang paling anyar dari ketidakkonsistenan Joko Widodo. Dan deretan fakta-fakta ini membuat jagad media social menjadi gaduh. Hampir tiap detik selalu saja ada postingan bernada bully terhadapnya.
Bully yang semakin menggila di jagad sosmed ini, terutama di jejaring twitter bisa kita temukan dengan mudah melalui pemasangan postingan dengan hastag atau tanda pagar berikut ini:
#SalamGigitJari (plesetan dari hastag kampanye #SalamDuaJari
#SaveKPK (tagar menunjukkan keprihatinan atas nasib KPK)
#JanganSensi (sindiran hastag serupa untuk counter serangan pendukung Prabowo)
#SaveTukangSate (dukungan terhadap tukang sate pem-bully Jokowi)
#ShameOnYouJokowi (sindiran atas inkonsistensi Jokowi)
#MelawanLupa (hastag sindiran atas janji-janji Jokowi berbanding terbalik)
#tutupMetroTV (bully terhadap stasiun TV yang dianggap berpihak ke Jokowi)
#BukanUrusanSaya (sindiran atas pernyataannya, “bukan urusan saya”)
#BBMNaik (hastag kekesalan setelah harga BBM dinaikkan)
Beberapa tagar/hastag di atas bahkan pernah menduduki peringkat pertama dunia alias trending topic dan dalam tempo waktu yang saling berdekatan. Sesuatu yang oleh beberapa pengamat politik dianggap rekor tersendiri bagi Jokowi selain sejumlah rekor prestisius yang sudah ia ciptakan.
Menurut kami, demokrasi dan ruang public digital di Indonesia adalah dua sisi yang saling melengkapi saat ini. Seperti kata Syamsuddin Aziz, dosen Fisip Universitas Hasanuddin, ruang bagi public untuk ikut berdemokrasi secara bebas saat ini telah berpindah dari jalanan ke digitalisasi. Tak perlu lagi turun ke jalan membakar ban dan memacetkan arus lalu lintas. Sebab, pengaruh media social kini jauh lebih berefek karena bisa dengan segera membentuk opini public.
Fenomena kebebasan berpendapat oleh public melalui sarana digital (information communication technology) ini menarik untuk didiskusikan dengan menghubungkannya dengan konsep ruang public yang digambarkan oleh filsuf Jurgen Habermas.
Dalam konsep Habermas, ruang public merupakan wadah perjuangan melawan himpitan kekuasaan. Ruang public melalui twitter, facebook, whatsapp, instagram, path, dan semacamnya ciri khas sebagaimana yang digambarkan Habermas yakni aksesibilitas, kesamarataan, independensi, dan diskursus.
Yang dimaksudkan kehidupan public pada awalnya adalah aktifitas yang berlangsung di tempat-tempat umum seperti pasar, warung-warung kopi, warung makan, tempat ibadah dan semacamnya. Tetapi dalam perkembangannya ruang public juga terdapat dalam kegiatan diskusi, siding-sidang pengadilan, dan tindakan bersama entah secara langsung maupun virtual menggunakan teknologi digital.
Melalui media baru dengan berbagai macam aplikasi yang bisa menghubungkan antara individu yang satu dengan yang lain yang kemudian membentuk sebuah komunitas public, ruang yang digunakan pun merupakan ruang public. Karenanya melalui ruang public tersebut para individu itu merumuskan hal-hal tertentu yang kemudian menjadi rujukan bagi lainnya atau dapat disimpulkan bahwa mereka telah melahirkan opini public.
Sejarah munculnya ruang public, jelas Habermas, menandai bangkitnya suatu masa di mana sebuah generasi yang terdiri dari individu-individu yang berkumpul membentuk kelompok lalu memberikan pengaruh terhadap public dalam bentuk opini.
Mereka kemudian melahirkan ide-ide maupun kritik-kritik berdasarkan kepentingan masyarakat bangsa dan mereka sendiri hingga kemudian berusaha memperjuangkan sesuatu praktek politik yang mengancam atau merugikan kepentingan mereka.
Dalam konteks ke-Indonesia-an yang dikemukakan di atas, maka apa yang dikatakan Habermas bersesuaian dengan kondisi Indonesia saat ini yang kondisi politiknya centang perenang. Seorang individu dalam berinteraksi secara social melalui perangkat social media dapat memberikan tanggapan maupun pandangannya terhadap pemerintah yang berkuasa.
Itulah yang dilakukan oleh para warga yang mem-bully Jokowi melalui teknologi ICT yang mereka miliki. Bagi masyarakat yang memilih Jokowi dengan pengharapan Indonesia bak surge jika dipimpin Jokowi tentu sangatlah kesal ketika Jokowi justru melukai hak-hak public.
Secara tidak langsung media seperti twitter, facebook, dan lainnya yang sengaja dibiarkan masuk di Indonesia yang bisa diakses oleh siapa saja sebenarnya telah berkontribusi terhadap berkembangnya iklim demokrasi yang terbuka dan merata di Indonesia.
Pembiaran terhadap kemudahan akses berbagai media social di Indonesia sebenarnya bisa dibaca atau didefinisikan sebagai bentuk dukungan terhadap tersedianya ruang public digital yang memadai bagi warga. Pemerintah Indonesia memang pernah mewacanakan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Pemerintah Cina dan Iran yang hendak melarang beberapa media social beroperasi di Indonesia, tetapi hal itu mendapat perlawanan dari warga dengan dalih kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul.
Karena itulah, apa yang dilakukan (bully) oleh warga terhadap Jokowi, bagi penulis merupakan reaksi atas produk demokratisasi di Indonesia. Jokowi yang disebut-sebut anak kandung demokrasi karena berasal dari rakyat bawah telah mengkhianati ibu kandungnya, yakni rakyat. Sehingga bisa dimaklumi jika kedurhakaan anak kandung demokrasi kini berujung dengan bully yang menggila, bullycrazy.
Makassar, 5 Maret 2015
Tim Penulis;
Muhammad Ibrahim Halim, Marwah, dan Sarifah Nugrawati
(Paper Tugas Mata Kuliah “Media Baru dan Kebebasan Berpendapat”)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H