Mohon tunggu...
Muhammad Lelaki Hujan
Muhammad Lelaki Hujan Mohon Tunggu... -

Pemuda dari kota seribu sungai, Banjarmasin kalimantan selatan, sedang kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah (Hukum Keluarga Islam). Seringkali mempunyai ide-idebaru yang tak terduga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Profesor atau Doktor Tidak Fasih Baca Qur'an Tak Usah Jadi Khatib

4 Agustus 2012   23:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:14 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13441232371906374856

Sumber foto: http://www.kl-today.com

Siang Jum'at kemarin seperti biasanya aku berangkat ke mesjid untuk melaksanakan salat Jum'at di mesjid kampus. Sudah menjadi kebiasaanku berangkat ketika adzan telah berkumandang, akan tetapi Jum'at kemaren aku berangkat lebih awal sedikit dari biasanya sehingga aku pun dapat menempati shaf paling pertama di depan. Setelah adzan pertama berkumandang, aku pun melaksanakan salat sunat Qabliyah Jum'at seperti orang lain yang juga melaksanakannya Tidak berapa lama setelah para jamaah selesai melaksanakan salat sunat, petugas takmir mengumumkan perolehan uang celengan minggu kemarin dan nama khatib yang akan berkhutbah. Terdengar olehku nama sang khatib bergelar Profesor dan Doktor, aku pun langsung semangat untuk mendengarkan isi khutbah yang akan disampakan nantinya. Seperti yang kutahu, jika biasanya khatib atau penceramah adalah seorang dosen yang telah bergelar Profesor atau Doktor, maka pembahasan yang diulas akan menarik untuk di simak meskipun tidak semuanya yang bergelar Profesor dan Doktor ceramahnya menarik. Setelah adzan kedua dikumandangkan, pak khatib segera naik ke atas mimbar untuk menyampaikan khutbahnya. Sebagaimana rukun khutbah yang terdiri dari 5 rukun, satu-persatu pak khatib membaca rukun khutbah yang dimulai dengan pujian berupa ucapan hamdalah kepada Allah swt, kemudian diiringi salawat kepada nabi Muhammad saw. Berikutnya wasiat untuk bertakwa, kemudian membaca surat al-Qur'an. Ketika pak khatib membacakan sebuah ayat yang memang kuhapal, telingaku mendengarkan dengan seksama mendengar bacaan pak khatib. Muncul perasaan tak enak setelah mendengar bacaan beliau tersebut. Seorang dosen yang kebetulan duduk di sampingku pun tersentak kaget dengan pelan sambil berucap "Masya Allah bacaan Qur'annya". Aku yang mendengar ucapan beliau itu pun sontak kaget karena ucapan dosen yang ada di sampingku tersebut. Hati dan pikiranku mengiyakan dan merasa sah-sah saja dengan apa yang dilakukan oleh pak dosen ini. Aku menggumam dalam hati," Masa bacaan Qur'an seorang Profesor seperti itu, sungguh sangat tidak enak didengar oleh telinga. Selanjutnya aku merasa sedikit terpaksa untuk mendengarkan isi khutbah yang disampaikan oleh pak khatib. Ini dikarenakan dari mendengar bacaan Qur'an yang kurang fasih tadi, sehingga erasa kurang mantap saja jadinya. Begitu pula halnya ketika telah memasuki materi khutbah, penyampaian beliau sangat lamban, ditambah lagi dengan seringnya menyebut kata "Subhanahu ta'ala" setiap kali selesai menyebut lafaz Allah, bahkan terkadang ada jeda yang cukup lama ketika sang khatib ingin merangkai sebuah kalimat baru. Meskipun tidak ada salahnya mengucap kata pujian kepada Allah Swt, akan tetapi khutbah malah terkesan kurang berisi. Batinku terus menggumam seakan berontak dengan keadaan yang terjadi. "Masih belum layak seseorang menyandang gelar profesor dan doktor di lingkungan sebuah perguruan tinggi Islam jika bacaaan al-Qur'annya masih belum fasih." Ucapku dalam hati. Kupikir masih lebih baik ustadz yang mengajar di TPQ jika dibandingkan dengan ilmuwan yang mempunyai segudang gelar kalau membaca qur'an saja masih tertatih-tatih. Apa jadinya kalau ada ilmuwan atau ulama dari negara lain yang kebetulan salat di sebuah mesjid yang khatibnya tidak tidak fasih membaca al-Qur'an, tentu akan sangat memalukan. Mungkin lebih baiknya sejak sekarang jika seseorang akan menempuh ujian doktor atau atau dikukuhkan menjadi guru besar menjadi profesor dalam bidang ilmu keagamaan, diadakan tes baca tulis al-Qur'an sehingga diharapkan tidak akan ada lagi Profesor atau Doktor yang bacaan Qur'annya tidak fasih. Ini bukanlah masalah sepele yang harus di biarkan begitu saja. Untuk menjadi khatib atau penceramah, seseorang dinilai terlebih dahulu dari bacaan Qur'annya. Demikian juga kepada para takmir mesjid, agar menyeleksi terlebih dahulu bacaan Qur'an orang yang mau diminta untk menjadi khatib. Kepada para dosen yang memang bukan penceramah, kalau memang merasa dirinya masih kurang fasih dalam membaca al-Qur'an, janganlah memaksakan diri untuk mau menerima tawaran menjadi khatib. Kalau berpikir pragmatis tentu saja profesi menjadi khatib dapat menambah pemasukan yang biasanya memang lumayan untuk menambah keuangan, terlebih lagi di kota-kota besar. Masih banyak penceramah yang tidak mempunyai gelar, hanya lulusan pondok pesantren yang belum mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan ilmu mereka. Kemungkinan besar bacaan Qur'an mereka lebih fasih dibandingkan dengan Profesor/ Doktor yang belum tentu lulusan pesantren. Masalah keilmuan mungkin memang masih berada di bawah para orang yang kuliah hingga S3, tapi jika bacaannya Qur'annya memang fasih dan ilmu agama yang dimiliki memang mumpuni, maka lebih baik yang fasih bacaannya kita dahulukan dan utamakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun