Susupu Sangadji telah hilang dalam mata, tapi masih lekat di sanubari. Kenagan bahkan genangan menancap mesra diatas Patong saloi yang membagi arah. Dari lara hingga bahagia, terukir sepotong cerita dibawa terik. Hiruk pikuk yang menghadang kami tendang, karena mengabdi sejatinya harus membekas dan abadi. Insyaallah jadi amal bahkan bekal.
Sepuluh hari lebih kami mengabdi dan membagi, aroma desa yang masih wangi dengan jamuan biji pala dan cengkeh kami hirup disela-sela peristirahatan. Pagi hingga sore diawal pertama mendiami Susupu Sangadji, bersih-bersih lingkungan kami lakukan dari awal, tiap-tiap RT kami bersihkan halamannya hingga bersih. Setelah itu pulang mendulang asa menguatkan akrab dibalik bilik dapur bersama mama dan papa piara.
Meretas ragu menumpas malu, keluh tak boleh nampak apalagi jijik. Tegur sapa ketika ada temu tak boleh lekang, moral dan etika adalah utama yang paling penting. Maka berbaur dan melebur bersama adalah solusi menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Meski awal-awal pertama kita masih kaku bahkan malu.
Hari-hari berlalu, kami pun telah tenggelam berkalung akrab bersama senja Halmahera di bagian Barat. Lingkungan baru itu perlahan lekat, kami mulai berani memulai adaptasi bersama generasi hingga orang-orang tua. Hampir dari semua orang yang kami jumpai selalu menampilkan senyum manis yang hampir sama, kami nyaman, sebab di tanah ini kami menemukan banyak kebaikan dari masyarakat. Â
Program kerja yang kami susun lalu bawa kemari telah siap. Mengabdi dan mengedukasi untuk membangun adalah arah yang dipukul oleh kami lewat perahu bernama HIMABIN. Segala yang bikin resah kami tepis, pertengkaran dalam lingkar itu wajar, sebab setelah itu kita tetap kembali pada slogan.
Â
Bulan tenggelam dan mentari pun pecah, meski hujan atau pun panas kami tetap tempur beri hibur juga belajar ke tiap-tiap sekolah. SD, SMP, dan SMA adalah tujuan, pengenalan program studi dan pembelajaran sastra tak luput kami kupas. Hingga anak-anak mulai akrab, sampai sesekali mengiringi kami untuk berpose.
Selepas pulang mengajar di tiap-tiap sekolah, sorenya kami langsung melaksanakan pelatihan teater, baca puisi, dan drama kepada anak-anak setempat. Rupanya ada bakat dan kemampuan yang terselubung lalu muncul dari mereka. Rasa kagum pula suku terurai jadi rindu. Susupu Sangadji masih dada, dan cerita ini akan tetap abadi, meski jarak telah menggaris.
Sampai tepat diwaktu pulang setelah pengumuman juara dan pemberian hadia telah usai kami bagikan dan umumkan. Malamnya kami keluar untuk gelar perpisahan bersama masyarakat Susupu Sangadji juga mama dan papa piara. Dibawa tenda yang telah rapih ditata kursinya, selepas ijab-kabul putri bapak Imam dan alhamdullah sah, kami pun dihidangkan makanan dan setelah jabat tangan dan menangis haru.
Air mata jatuh basahi almamater kuning Unkhair, pelukan yang dibarengi pesan adalah pemicu, "Jangan lupa torang dan abis jaga baronda kamari lagi". Kata-kata ini menusuk hingga tembus jadi air mata. Tangis haru yang diiringi instrumen dimalam perpisahan itu melebur, tangisan haru berkalung rindu itu makin memuncak, ketika Mama piara membelai bahu dengan linangan.
Terima kasih telah menerima kami seperti anak-anak sendiri. Salam cinta bertabur kasih untuk mama dan papa piara juga seluruh masyarakat Susupu Sangadji. Terima kasih telah membantu dan mengajari kamu banyak hal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H