Ditepi bersama sepi, merunduk menepis sedih. Nestapa kelam dibalik bilik bambu hijau yang mekar dibaluti embun, tersimpan kisah pilu penuh darah yang mewarnai deras sungai. Dari batu ke batu darah mengalir tanpa jejak.
Rentetan tragedi tragis di tanah Halmahera paling timur yang perlahan redup jelang pemilu. Suara dan ratapan sang anak yang ditemani embun di tengah hijaunya hutan kini lekang dihantam senapan kepalsuan.
Â
Janji tinggal janji, jejak-jejak para pembunuh itu hilang dalam sekejap tanpa tindak yang lebih lanjut. Ketika ada yang lantang karena sadar, dihadang dan dituduh macam-macam. Padahal, semua yang disampikan adalah untuk kemanusiaan yang dicabik-cabik.Â
Memang, kalian keterlaluan.!!
Merawat ingatan menolak lupa, lewat tulis yang sejatinya dari isi hati, saya berdengung perihal nyawa yang di mutilasi disamping para-para dan juga beberapa pada tahu lalu di Patani dan Waci. Saya berdengung lewat kata, sebab selain berdemonstrasi menulis juga bagian dari memberontak, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ayahanda Pram kala itu.
Tubuh saya bisa kalian penjarakan, tapi tidak dengan suara dan tulisan saya. Sebab saya tumbuh dengan semangat pembebasan dan kemanusiaan yang menjadi pedoman hidup Ayahanda Pram. Saya selalu mengabdikannya sebagai panutan dan penuntun.
Sekali lagi saya bunyikan lonceng petaka yang sekian kali terjadi. Perihal orang tua kami yang terbunuh. Saya heran, kenapa yang mestinya bertanggungjawab atas persoalan ini selalu diam. Kenapa.?, Apakah harus ada anggaran yang mencapai ratusan juta baru kalian para pemangku bisa peka.?. Ah, entahlah.
Rupanya, bagi mereka persolan kemanusiaan bukanlah hal penting. Uang dan jabatan adalah segalanya, lebih baik urus tambang ketimbang tragedi ini. Harapan sulit untuk dinyatakan.Â
Singkirkan mereka dari kursi kekuasaan, sebab di mata mereka rakyat adalah babu yang gampang di tipu. Awas, hati-hati Pak, masih ada kami, anak muda yang berani bersuara, meski hanya sebagian.
Bersuara siang malam lewat corong, propaganda, dan menulis. Jangan anggap kami tak sadar, sebab yang waras dan peka hanya mereka yang peduli pada kemanusiaan, keadilan, kebenaran, dan hal-hal baik lainnya. Sedang kalian, ah sudahlah. Biarlah mereka cacat dan dungu, karena yang keras kepala sulit untuk diajarkan makna-makna kebaikan.
Rusak, rakus, dan serakah. Astgaaa. Cey.
Menolak Lupa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H