November pergi meninggalkan perih melahirkan sedih. Segalah luka sampai duka, kini habis dilibas waktu. Desember menyapa dengan secuil senyum manis darinya perempuan ayu.
Wajah polos dan tingkah lugunya bikin rindu, apalagi senyumnya. Bulan telah berganti, senyumnya makin mekar lebar menyapu ragu mengakhiri rapuh. Kau, Rahayu, perempuan manis berwajah layu.
Dibalik bilik dinding ruangan baru dilantai teratas, ia sering bersandar merebahkan tubuh dengan lugu ditemani lagu. Kerudung abu-abu yang ia kenakan, diterpa angin hingga rambut tebalnya berterbangan menutupi wajahnya yang imut.
Senyumnya yang anggun, kini terbang menjadi sajak-sajak puisi yang ku tulis. Dilantai teratas diruang 35, ia ku tatap dengan mata juga kata, hingga lahirlah satu puisi yang sejatinya dari isi hati. Percayalah, kau dan senyum mu tak akan pernah pudar, sebab manis di senyum mu adalah ayunan menuju kedamaian.
Aku kagum dan terkatung-katung oleh senyum mu yang bikin teduh. Tetaplah tumbuh menjadi perempuan yang suka buku, jika tidak, kau akan selalu dibawa laki-laki yang buaya. Maka, marilah membaca, setelah itu menulis. Biar nanti aku yang temani.
Tetaplah tersenyum dengan mekar agar dunia tahu, bahwa keindahan kepunyaan Tuhan masih ada dan belum redup. Tetaplah rendah hati, jangan besar diri, sebab manis di senyum mu adalah simbol kebaikan menuju ketenagan. Maka, tersenyumlah disepanjang hari sebagai bentuk ibadah mu pada-Nya pemilik Cinta dan keindahan.
Jangan tutupi senyum mu, sebab orang-orang akan kaku memulai langkah mengawali hari tanpa keindahan mentari dan senyum manis mu. Tersenyumlah untuk bumi dan manusia, biar keindahan selalu terhias disetiap mata yang penuh tangis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H