Pagi, ketika mentari belum terlalu pecah dan saat sunyi masih menguasai suasana. Ia telah bangun meski tidurnya belum cukup. Lelaki tua tapi kuat, yang biasa saya sapa dengan sebutan papa. Kini papa telah bangun dan segera bersiap-siap untuk pergi ke kebun. Di dapur tepat diatas tempat duduk, papa duduk sembari menikmati segelas air putih dengan segulung tembakau.
Suara-suara benturan gelas membangunkan saya dari tempat tidur, saya bangun dan segera mengintip apa yang sedang dilakukan oleh papa, rupanya papa ingin membikin kopi, tapi kopi sudah habis. Saya terus mengintip dari kejauhan, sesekali wajah keriputnya ia angkat tinggi-tinggi lalu bibirnya pun ikut bergetar, seakan seperti melepas beberapa kata pada mentari pagi yang baru pecah.
Pagi sudah hampir terang, pakaian yang biasa papa pakai ke Kebun telah dipakai meski masih basah. Tanpa memakan apa pun, papa langsung pergi ke kebun. Dengan peralatan karung, parang, dan juga air putih yang papa taruh didalam botol Aqua. Sepanjang jalan yang masi sunyi papa pergi dengan langkah kaki yang perlahan. Saya masi menatap papa dari jauh, hingga sampai hilang diantara tikungan.
Puncak gunung Mancalalay yang sakral, nampak embun-embun dari sisa-sisa gerimis manis dimalam hari. Sejuk, damai, dan tenang demikian lah apa yang saya rasa di pagi ini. Harum daun-daun pala dan juga cengkeh yang baru tumbuh menjadi virus yang mengudara bersama matahari pagi yang baru pecah. Sekolompok burung terbang dari timur menuju Utara untuk mencari makan. Pagi ini ada keindahan dan juga kekhwatiran yang luar biasa saya rasa.
Dentuman ombak terus pecah dengan suara-suar menggelegar, sementara sungai sedang berarus dengan segala macam pohon yang ia lemparkan ke laut luas. Dari pantai dan sungai saya pulang menuju rumah untuk segera menyusul papa di kebun. Setelah selesai ganti baju, saya langsung pergi dengan membawa sedikit bekal untuk papa.
Jarak dari rumah ke kebun lumayan jauh, saya berjalan santai dengan membawa bekal dan juga parang yang saya pegang erat-erat. Lewati bibir gunung Mancalalay yang menjulang. Wangi daun pala dan cengkeh yang dibaluti embun makin terasa, saya nikmati dengan menghirup wangi-wangi itu dengan wajah ceriah.
Dibawa teduhan pohon pala dan juga kelapa, papa berdiri mendekati batu besar itu untuk membikin api, nyamuk di pagi hari memang banyak sekali. Saya mendekat dan langsung menawarkan papa dengan bekal sarapan yang saya bawa. Papa hanya menjawab, "Taruh duluh disitu, nanti selesai kumpul kelapa baru makan". Saya taruh lalu segera berjalan mengambil keranjang untuk mengumpul kelapa.
Setelah selesai membikin api, papa langsung juga mengumpul kelapa-kelapa untuk di kumpulkan didekat para-para. Saya dan papa hari itu sangat bersemangat, hampir enam atau tujuh kali saya dan papa mengumpul kelapa dan memikul. Waktu sudah hampir jam makan, saya sudah lelah dan segera menyandarkan badan didekat pohon pala. Papa Masi mengumpul.
Tengah hari yang tak terlalu panas. Cuaca dibawa kaki gunung Mancalalay begitu sejuk. Angin terus berembus dan air kelapa muda sangat menyegarkan di tenggorokan. Papa langsung mendekati saya dengan suar keringat yang begitu banyak diwajahnya, sembari berkata, "Sakit kerja seperti ini, jadi kau, anak ku harus sekolah yang baik, agar bisa menjadi anak yang sukses". Mendengar kata-kata itu, dalam hati saya berkata "Amin".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H