Aku menemuinya disuatu malam paling tenang, saat orang-orang di sekitar sibuk lalu-lalang dengan motor. Â Perempuan beralis tebal tanpa hijab itu aku temui dia dibawa lampu penerang tepat di depan kampus.
Memeluk buku-buku yang ia bawa dengan erat, sembari memainkan jemarinya diatas papan keyboard leptop yang ia pangku. Malam itu saya ingin mendekatinya lalu berdiskusi dengannya tentang banyak hal.
Rambutnya yang tidak diikat seakan mengangu fokusnya pada leptop. Cahaya terang dari arah leptop memberikan kejelasan pada sepasang mata yang hanya menatap jauh. Rupanya ia cantik dan juga beralis tebal.
Akhr... Suasana makin tenang saat malam telah hampir berjalan jauh menuju larut. Dia masi meluangkan fokusnya pada leptop dan juga buku-buku yang sesekali ia buka lalu baca. Saya hanya menatap dia dari kejauhan, sembari mulai melukis alis tebalnya dengan kata-kata dalam bentuk Puisi.
Dibatas jalan ini saya dan dia terpisah, dia hanya fokus pada leptop yang ia pangku. Sementara saya masi tetap menatapnya dari kejauhan dengan satu harapan ingin duduk bersamanya.
Telah pukul 23:05 WIT, satu jam lebih dia berada disitu tanpa di temani oleh siapa pun. Saya pun demikian, masi disini untuk melihat dan melukisnya sebagai mutiara yang saya temui di malam tua. Leptopnya telah ia matikan, kemudian ia mengalihkan fokusnya lagi pada buku-buku yang peluk.
Ia mulai membaca. Lembar-perlembar ia habiskan dengan cepat. Sampul buku yang dia baca itu berwarna hitam. saya mulai mengamati, kira-kira yang ia baca itu penulisnya siapa, tiba-tiba cahaya di handponnya menyala menerangi sampul buku yang ia pegang. Rupanya buku itu adalah karangan Jazuli Imam yang berjudul Pejalan Anarki.
Suasana makin tenang, disaat semua pejalan malam telah berkurang. Ia masi membaca buku pejalan anarki  itu dengan serius. Selang beberapa menit, tepatnya pukul 00:34 WIT saya berdiri dan beranjak pergi dari tempat dengan niat untuk duduk bersamanya. Tapi, rasa malu masi menyelimuti dan sangat memberatkan langkah. Hingga akhirnya saya duduk kembali ditempat semula dan tetap terus menatapnya dari kejauhan.
Buku yang dia pegang kini telah ia tutup, kemudian mengambil Hendpond lalu mengecek jam, "rupanya ia sudah mau pulang", ucap ku dalam hati, sembari terus menatap gerak-gerik sibuknya. Ia langsung berdiri dan berjalan pergi melalui trotoar. Mata saya terus mengikuti langkah kakinya hingga hilang dibalik gelap yang menyelimuti malam.
Malam itu ia memang telah pergi menuju rumah dan mungkin telah sulit untuk menemuinya kembali. Tapi, ia sudah terlanjur mendiami hati ini dengan alis tebalnya yang menghiasi wajah. Malam itu saya jatuh bukan hanya pada bulan, tetapi juga dia yang senantiasa memeluk buku. Ia pergi meninggalkan jejak  dan juga bekas pada sepasang mata yang telah jatuh cinta.