Mohon tunggu...
Muhammad Hatta
Muhammad Hatta Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Hobi membaca, olahraga, dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Harap-harap yang Tandas

20 Februari 2024   23:25 Diperbarui: 20 Februari 2024   23:28 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Pinterest/Wayan Yoga

Pada tangga hari yang merangkak, yang kadang-kadang menjungkirbalikkan keadaan, ku tegar lalu berserah dihantam oleh sekelumit harap yang terombang-ambing menuju teluk yang dihuni oleh sesosok gadis. Perihal rentan waktu yang berdurasi lambat dengan tumpukan pengharapan yang selalu menjelma menjadi gemintang di atas kepala malam. 

Telah ku pasung dalam relung berkalung yakin, berharap penuh bahwa ia adalah ujung dari perjalanan jauh mencari temu. Tentang sesosok yang gemar memungut bekas-bekas cerita yang berserakan, lalu menjadikannya cerita yang penuh gemulai di antara bait-bait. Perempuan yang ku temui di sebuah beranda, bernama Jingga yang serupa senja, yang tumbuh dengan karya yang berarti mengabadikan. 

Semua rotasi semesta yang berputar, ia selalu tembus membekas pada isi kepala. Menjadi mimpi-mimpi paling indah yang melayang-layang, memompa semangat ku untuk terus berlari menuju sunyi kemudian menulis. Ia telah merenggut segala isi yang ada pada ku, raga dan jiwa ini telah kepunyaannya. Hingga senja yang mampir di langit Halmahera pun ku anggap ia, apalagi purnama yang bertengger di sebuah malam. Semua yang hendak ku tulis senantiasa bermuara padanya, padannya yang padahal telah berpunya. 

Mungkinkah ku sudahi jalan-jalan harap ini atas namanya, atau memilih tunggu yang berpenumpang lama. Rasanya aku terlalu berlebihan menjatuhkan harkat demi dia yang belum erat ku kenal, tapi, kalbu tak mampu ditilang, sebab ia telah merdeka dengan rasanya yang bernama cinta. Hal inilah yang ku rasa, perempuan itu selalu saja menabrak waktu luang ku dengan kata-katanya yang elegan. Perihal cerpen dan puisinya yang teramat membekas, ia adalah jejak yang hendak ku pijak, namun sudahlah, biarlah ia redup bersama waktu yang terus berjalan. 

Sepatah kata yang disematkan oleh kawan ku malam itu seperti anak panah, menghantam tubuh ini hingga tembus ke tulang-belulang. Malam itu, napas harap seakan tersendat oleh bebatuan yang berhamburan diterjang arus, pipa pengharapan itu berhenti mengalir ke arah labuh yang adalah dia. Ia telah berpunya, dan keyakinan yang telah ku pupuk di hampir semua hari itu harus luput dililit sepotong kalimat yang keluar dari mulut kawan ku. Aku kembali harus terpuruk bersama rentetan kegagalan untuk menjamah relasi sebagai kekasih. 

Semua malam yang ketika sebagian dari kita lelap di atas ranjang dengan mimpi-mimpi, aku memilih menolak tidur dan lari pada peluk sunyi untuk menulis. Menulis tentang dia yang lugu, yang ketika menulis bahasanya sungguh menggugah, dialah perempuan berkalung sastra. Di semenanjung Maluku Utara tepatnya di tepi selat Sulawesi, perempuan itu ber-tinggal, bertumbuh menjadi permata yang akan silau kemilau di masa datang dengan karya-karyanya yang sederhana. Ia telah ku tebak dalam sederet bahasanya yang penuh jujur, ia akan ku sapa dengan panggilan Jingga, sebab ku yakin, bahwa di matanya yang pekat ada senja yang melekat. 

Segala ingin yang tertatih-tatih, yang patah sebelum menjadi. Lenyap lah bersama putaran waktu yang berdetik tanpa jeda. Kesemua-an yang pernah tertulis biarlah jadi cerita, jadi kenangan yang tak mesti disimpan. Balik lah pada sunyi, tempat menyendiri memaknai sendiri. Bukankah ada janji yang pernah tersematkan, bahwa berharap pada manusia adalah sebuah seni untuk tetap menderita.?. Maka untuk berlebihan, juga ternyata salah. Ambil jeda perbanyak rehat, terlalu banyak waktu yang terlewatkan dengan sia-sia. Menepi secukupnya pada jauh yang tak terganggu, maknai setiap rasa yang mereda, yang hendak merdeka namun mudah ditebas oleh kata dan tindak. 

Dan biarlah potongan-potongan cerita yang telah setengah tertulis itu tetap hidup, tumbuh serupa mawar yang mekar harum bak parfum kepunyaannya. Biarlah semua ini tandas sebelum jauh beranjak, agar apa-apa yang membikin perih, tak berujung pada sedih-sedih. Selamat tinggal harapan, rupanya ku harus berhenti berjuang sebelum telat berujung pada patah. Maaf diri, aku terlalu memaksa mu untuk jatuh cinta pada dia yang telah berpunya, untuk hal ini, jangan salahkan siapa pun selain aku yang tak mampu berdamai dengan mu. Dan selanjutnya, tetap giat mewarna malam dengan keseharian yang menakjubkan, yakni menulis tentang Halmahera. 

Mha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun