Selangkah-langkah yang hendak menapak terhenti pada malam setengah ramai, para peronda yang berebut jalan memilih rehat di antara teras-teras gedung, rumah, dan halaman parkir Indomaret.
Sedang sepasang di kanan pojok sana tak menghiraukan percikan hujan yang menyapu. Mereka giat bercengkrama, entah itu perihal apa. Bulan hilang dan bintang meredup.
Pekat gelap makin memekik, senada dengan deru deras hujan yang makin berontak. Dingin menyapa, merangkul erat kedua lengan yang melipat. Baju Pram yang ku kenakan telah kuyup dihantam basah.
Di sepertiga malam Sabtu, di antara temu-temu yang tak berujung, rindu makin membatu bersamaan dengan riak-riak rintik yang bernyanyi. Hujan telah menghirup habis segala harap yang terpelihara.
Derasnya makin menguyur, hingga terciptalah arus-arus kecil di tepian jalanan. Aku menatap sendu pada aliran kecil yang mencari ruang, berusaha keras mencari temaram rembulan yang redup tak berjejak.
Kota kecil di Timur Indonesia, sesosok perempuan telah bersinggah menata harap dalam doa-doa dan jejak demi kejar cita penuhi mau orang tua. Ratu, demikianlah namanya.
Perempuan Halmahera bermata senja, yang giat bertalu lewati malam dengan membaca, barangkali itu yang membikin ku jatuh dan cinta. Nyanyi hujan telah menghantarkan aku untuk melukisnya bersama dedaunan yang basah.
Dan hujan malam ini tak akan bisa melibas jejaknya yang berpijak. Ia telah kepunyaan ku, dan kata-kata akan senantiasa melindunginya dalam segala yang hendak menjamah, sebab tulis ku berbekal doa dan jaga-jaga serupa kapita.
Mha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H