Di sebuah penghujung siang, di antara keramaian kampus yang tak terkendali. Pula riak-riak angin yang berhembus pada sela-sela mata angin yang masuk tembus pada ruang-ruang kuliah. Tepat di bawa pohon Ketapang, lelaki muda berkaos Pramoedya Ananta Toer itu duduk menyelami beribu kosakata yang membumbung pekat di kepala.
Melipat dua kaki sembari menyeka keringat tomat yang menempel pada raut muka yang kaku, kopi ia cicipi dengan khusyuk. Siang itu ia tidak merokok samasekali. Terik teriak matahari yang memekik garang pada karpet bumi tak membikinnya patah untuk melangkah pulang. Lelaki bernama Jiko itu terus duduk seraya melamun.
Tiba-tiba dari arah jauh, ia melihat perempuan ber-tahi lalat dibawa bibir itu lewat bersama kawannya. Ia terkatung-katung seketika, mencoba meraup segala untuk melumpuhkan kaku pula malu. Sri, demikian lah namanya. Perempuan itu makin dekat ke arahnya. Seolah suara-suara yang bergemuruh ditengah aktivitas kampus itu tak terdengar lagi di telinganya, yang ada hanya bunyi langkah sepatu Sri dan detak cepat jantungnya yang berdegup.
Siang itu, suasananya terasa berbeda. Serasa tak biasa pada hari-hari yang sering dijalaninya. Jiko merasakan getaran baru dari semua temu yang pernah ia alamatkan. Perempuan ber-tahi lalat dibawa bibir itu telah membikinnya jatuh dan cinta. Pada senyumnya yang semerbak bunga matahari atau pada wajah lugunya yang anggun, Jiko menengadah  lalu menegaskan keindahan itu pada lamunan panjang tak berujung.
Di gedung baru dekat kantin, Sri hilang di antara tiang-tiang menjulang yang memapah empat lantai ruangan. Tatapan lekat dari dua bola mata Jiko berhenti, sedang harap berbekal cinta itu telah melambung tinggi melampaui tingginya gedung baru kampus FKIP. Â Tak ada tegur sapa yang ia lontarkan, demikian juga Sri, Perempuan ber-tahi lalat dibawa bibir itu. Jiko mengakui bahwa mereka masih terlalu asing, namun ia percaya bahwa cinta pasti mengeratkan kedua yang dahulu asing dan jauh, ia percaya itu.
Hingga peristiwa paling indah dan mencengangkan itu berlalu, sampai kini Jiko masih merawat asa pula suka kepadanya. Tak ada percakapan, apalagi pertemuan serius yang terjalin, namun lewat Via WhatsApp telah membikin Jiko merasa sedikit bahagia, paling tidak ia bisa tahu sedikit perihal keseharian Sri.
Sri, iya. Kau adalah satu dari sekian banyak perempuan yang pernah saya  temui. Kau adalah keindahan serupa teriakan lantang Mama-mama di Halmahera yang tak mau tanahnya dijarah. Atau serumit masalah ketidakadilan yang terjadi di negeri ini. Kau telah menghanyutkan saya pada kerinduan yang tak seharusnya, hingga di hari-hari yang terjalani ini saya harus terpental atas wajah mu yang tak pernah teralihkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H