Gonjang-ganjing terjadi setelah pemimpin Agama dan Negara Madinah Nabi Muhammad mangkat. Perpecahan demi perpecahan di dalam negara Madinah. Para kelompok pemberontak mengatakan perjanjian untuk patuh dan setia kepada Madinah hanya berlaku saat sang pencerah masih hidup. Setelah Muhammad tiada maka pemberontak berspekulasi bahwa perjanjian yang disepakati dalam Piagam Madinah berlaku saat sang nabi masih hidup. Karena nabi sudah tiada maka perjanjian itu luntur dan tak berlaku lagi.
Muhammad pun tak menunjuk penggantinya sebagai kepala pemerintahan dan negara Madinah. Otomatis tak ada pemimpin. Dengan inisiatif sahabat dekat Muhammad, maka Abdullah bin Quhafah at-Tamimi diangkat menjadi pengganti rasulullah atau Khalifatu Rasulillah. Babak Khulafaur Rasyidin dimulai.
Perjalanan Abdullah bin Quhafah at-Tamimi menjadi pengganti Muhammad memang tak gampang. Pecah kongsi antar kaum Anshar dan Muhajirin mengenai siapa yang layak menjadi pengganti beliau. Kaum Anshar mengajukan Sa’d bin ‘Ubadah sebagai pengganti rasul sedangkan kaum Muhajirin mendorong Abdullah bin Quhafah at-Tamimi sebagai pemimpin Madinah. Adapula golongan yang mengingkan Ali bin Abu Thalib sebagai pengganti rasul. Perang argumentasi ini memunculkan Abdullah bin Quhafah at-Tamimi (Abu Bakar as-Siddiq) sebagai pengganti rasul. Namun terpilihnya Abu Bakar menyisakan ketidak senangan dari golongan yang mendukung nabi saat masih berkuasa.
Adalah Fatimah, putri rasul yang tak menyetujui kepemimpinan Abu Bakar. Penolakan Fatimah ini disebabkan kepemimpinan sang khalifah mengambil harta rasul termasuk warisan kebun di luar Madinah yang diserahkan kepada Fatimah Azzahra. Ia mengurus tanah ini. Memanem kurma-kurma yang sebelumnya ditanam oleh ayahnya. Kurma-kurma itu disedehkahkan setelah dikurangi kebutuhan keluarganya sehari-hari.
Khalifah membantah argumen Fatimah dengan mengatakan, “ sesungguhnya semua nabi tidak mewariskan. Apa yang kami (nabi) tinggalkan adalah sedekah.” Abu Bakar menolah tanah Fandak diperlakukan sebagai tanah warisan. Tanah itu berada dalam kekuasaan pemerintah, maka pemerintahlah yang memiliki hak untuk membagi hasilnya kepada rakyat yang membutuhkan.
Setelah pertemuan itu Fatimah sangat sedih dan murka terhadap Khalifah.
“Ridha Fathimah berarti ridaku, murka Fathimah berarti murkaku. Siapa yang mencintai Fathimah, dia telah membuat aku rida. Siapa yang membuat Fathimah murka, berarti dia telah membuatku murka.”
Inilah sabda rasul yang sangat ditakuti oleh Abu Bakar dan Umar sehingga mereka berusaha untuk meminta maaf. Namun pertentangan mereka tak bisa terselesaikan hingga Fatimah Azzahra wafat. Hanya Ali yang membaiat Abu Bakar. Itupun setelah istrinya wafat.
Meski demikian Abu Bakar telah berhasil memerangi kaum murtad dan kaum yang melakukan pemberontakan. Memerangi nabi-nabi palsu.
Setelah Abu Bakar wafat maka Umar menggantikan kedudukannya dengan cara penunjukkan langsung. Hal ini dilakukan Khalifatu Rasulillah supayatak terjadi perselisihan antar umat.
Masa kepemimpinan Umar bin Khattab dianggap sebagai babak baru Islam. Dengan gelar Amirul Mukminin, iamembawa Islam dan Madinah sebagai negara yang kuat. Ekspansi dilakukan keluar Madinah dengan menguasai Syam, Jazirah, Basra, Kufah, Mesir dan Palestina. Ia melakukan revolusi dari tatanan negara dengan mendirikan diwan (departemen), mendirikan baitul ma, membuat mata uang, mengatur gaji, mengangkat hakim-hakim, menciptakan tahun hijriah, mengatur hisbah (pasar).
Kegemilangan kepemimpinan Umar bin Khattab akhirnya harus berakhir di tangan Abu Lu’luah, budak dari Persia. Setelah Amirul Mukminim wafat, dewan pun memilih Usman bin Affan secara demokratis. Prof Dr. Didin Saefuddin B, mengatakan perpindahan kepemimpinan ini kontras dengan ketegasan, keradikalan dan tanpa kompromi menuju kelembutan, kelunakan dan ketidaktegasan.
Usman berhasil mengembangkan wilayah, mendirikan angkatan laut, perampungan mushaf Al-Quran.
Namun pemerintahan Usman dirongrong isu nepotisme. Banyak pemangku kebijakan strategis diisi oleh Bani Ummayah. Menurut Prof Dr. Didin Saefuddin B dalam bukunya Sejarah Politik Islam, keadaan ini dimanfaatkan oleh Abdullah bin Saba. Ia menjadi aktor intelektual dengan menyebarkan provokasi dan membangkitkan gerakan anti Usman yang menyatakan sebelum Nabi wafat, ia mewasiatkan kedudukannya digantikan oleh menantunya Ali bin Abu Thalib. Situasi politik pun menjadi kisruh. Ditambah lagi bibit-bitit Syiah yang selama ini teredam mulai menunjukkan simpatinya kepada Ali.
Isu yang dihembuskan pun menjadi “bola liar” hingga mengantarkan Usman menuju kematiannya. Usman tewas setelah para pembangkang menyerbu rumahnya. Tragis karena yang membunuh khalifah adalah umat Islam sendiri.
Ali yang didapuk menjadi suksesor Usman tak mampu berbuat banyak. Perpecahan yang terjadi sudah sangat kompleks. Seperti, Perang saudara antara pemerintahan Ali dengan Aisyah-Talhah-Zubair. Perang ini muncul akibat ketidakpuasan dengan kebijakan Ali yang menunda pengusutan kematian Usman.
Pemberontakan Gubernur Syam Muawiyah yang menolak untuk digantikan hingga menghasilkan perang Shiffin. Perang ini berkesudahan dengan Ali berada dipihak kalah dengan cara diplomasi. Hasil perundingan ini menurunkan Ali sebagai khalifah dan mengangkat Muawiyah sebagai penggantinya.
Konflik panjang terjadi setelah perundingan ini. Hingga Ali terbunuh oleh seorang Khawarij Aburrahman bin Muljam yang membencinya karena menerima perundingan Shiffin.
Hasan yang menggantikan Ali tak mampu berbuat banyak hingga dia membaiat (menyetujui) Muawiyah sebagai khalifah. Dengan Muawiyah sebagai khalifah maka imperium Bani Ummayah pun dimulai dengan berakhirnya masa kejayaan Khulafaur Rasyidin. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H