"The real fans of football come from the working class. Now they cannot afford to come and watch the game." - Eric Cantona.
Sepak bola, dalam sejarahnya, telah menjadi hiburan dan ruang sosial yang penting bagi kaum pekerja. Pada abad ke-18, di Inggris Raya, sepak bola mulai muncul sebagai olahraga yang menarik perhatian banyak orang, terutama kelas pekerja yang bekerja di sektor industri. Di sana, di jantung Revolusi Industri, sepak bola menjadi simbol perlawanan kolektif kaum buruh terhadap kondisi kehidupan yang keras dan menindas. Sepak bola bukan sekadar permainan menendang bola, melainkan manifestasi kolektivitas, solidaritas, dan perjuangan yang tumbuh dari pengalaman sehari-hari para pekerja.
Namun, seiring waktu, kapitalisme telah mencengkeram olahraga ini dan merusak substansi kolektif yang dulu erat melekat pada sepak bola. Hari ini, kita menyaksikan bagaimana sepak bola, yang dulu murah dan mudah diakses oleh kelas buruh, telah menjadi produk mahal yang diperdagangkan oleh korporasi multinasional. Artikel ini berfokus pada transformasi ini, dari hiburan kelas pekerja menjadi bisnis kapitalis, dan bagaimana kapitalisme telah merampas sepak bola dari rakyat.
Sepak Bola dan Kelas Pekerja: Sejarah yang Terlupakan
Sepak bola, seperti yang kita kenal hari ini, memiliki akar yang dalam dalam sejarah kelas pekerja, terutama di Inggris pada abad ke-18 dan 19. Awalnya, permainan ini merupakan bentuk rekreasi yang sangat populer di kalangan para buruh dan kelas pekerja, yang merindukan pelarian dari kehidupan sehari-hari yang monoton dan melelahkan di pabrik dan tambang. Pada masa itu, tidak ada fasilitas olahraga modern seperti yang kita lihat saat ini; sepak bola dimainkan di lapangan terbuka dan sering kali tanpa aturan yang ketat. Ini adalah permainan yang organik, di mana siapa pun dapat bergabung, terlepas dari latar belakang sosial mereka.
Di Inggris, sepak bola mulai mendapatkan popularitas di antara kelas pekerja bersamaan dengan lahirnya Revolusi Industri. Era ini membawa perubahan drastis dalam struktur sosial dan ekonomi, dengan banyak orang berpindah dari desa ke kota untuk mencari pekerjaan di pabrik. Populasi pekerja yang berkembang pesat di pusat-pusat industri menciptakan kebutuhan akan hiburan yang dapat menyatukan mereka. Di sinilah sepak bola berfungsi sebagai alat pemersatu, menyatukan buruh dari berbagai sektor industri dalam semangat kolektivitas.
Pada akhir abad ke-19, sejumlah klub sepak bola mulai didirikan di berbagai kota industri. Banyak dari klub-klub ini didirikan oleh para pekerja itu sendiri, yang melihat sepak bola sebagai cara untuk memperkuat ikatan sosial di antara mereka. Misalnya, pada tahun 1886, Arsenal FC didirikan oleh sekelompok pekerja gudang senjata di Woolwich. Klub ini menjadi simbol bagi komunitas buruh di London, dan ideologi kolektivisme yang mereka anut tercermin dalam budaya klub.
Demikian pula, West Ham United didirikan pada tahun 1895 oleh para pekerja dari industri pandai besi. Nama klub, "The Hammers", berasal dari simbol pekerjaan mereka. Para pendiri klub ini berkomitmen untuk menciptakan tim yang tidak hanya sukses di lapangan, tetapi juga mencerminkan semangat dan perjuangan kelas pekerja. Begitu juga, klub-klub seperti Manchester United dan Liverpool tumbuh dari akar yang sama, melambangkan identitas dan semangat komunitas pekerja di kota masing-masing.
Tradisi menonton sepak bola di stadion tumbuh seiring dengan berkembangnya klub-klub ini. Setiap akhir pekan, ribuan buruh akan berkumpul di stadion untuk menyaksikan tim mereka bertanding. Stadion bukan hanya tempat untuk menonton pertandingan; mereka menjadi pusat kehidupan sosial di mana buruh dapat bersatu, merayakan kemenangan, atau meratapi kekalahan bersama. Ini adalah manifestasi dari solidaritas yang tumbuh di antara mereka.
Perasaan senasib sependeritaan ini juga mendorong perkembangan budaya pendukung yang kuat. Para penggemar sering kali menjadi bagian integral dari klub mereka, terlibat dalam semua aspek, dari pengumpulan dana hingga organisasi acara. Sepak bola menjadi simbol harapan dan kebanggaan bagi komunitas kelas pekerja, di mana mereka dapat mengekspresikan diri dan identitas mereka.