Mohon tunggu...
Muhammad Haikal Faturrahman
Muhammad Haikal Faturrahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Umum HMI Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Penggemar Buku, Penggila Sepak Bola

Menulis, Membaca, Berdiskusi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pasifnya Pergerakan Mahasiswa: Ketika Kampus Tak Lagi Menjadi Benteng Perlawanan

25 Agustus 2024   18:59 Diperbarui: 25 Agustus 2024   19:04 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: @by.frana

Sebagai mahasiswa, saya menyaksikan dengan cemas bagaimana semangat pergerakan di kalangan mahasiswa meredup. Kampus-kampus yang dulu menjadi pusat penggodokan ide dan perlawanan kini sepi dari gaung aksi. Apakah mahasiswa hari ini lupa pada sejarah yang pernah mereka tulis? Ataukah mereka terlalu nyaman dalam ketidakpedulian, menjadi penonton di tengah panggung besar penuh ketidakadilan?

Mari kita jujur. Pergerakan mahasiswa hari ini lebih banyak diwarnai oleh euforia kebersamaan tanpa makna, kumpul-kumpul tanpa substansi, dan diskusi yang hanya berhenti pada tataran permukaan. Seolah kampus telah berubah menjadi arena komedi, tempat mahasiswa mencari hiburan daripada mencari pencerahan. Isu-isu besar yang dulu menjadi bahan bakar pergerakan kini lebih sering diabaikan, terhimpit di antara tugas akademik dan kehidupan sosial yang semakin hedonis. Dalam banyak kasus, suara kritis mahasiswa teredam oleh bisingnya budaya popular yang meninabobokan.

Pepatah lama mengingatkan kita, "He who does not punish evil, commands it to be done." Ketika mahasiswa tidak berani bersuara menentang ketidakadilan, secara tidak langsung mereka membiarkan ketidakadilan itu terus berlangsung. Ironisnya, generasi yang pernah digadang-gadang sebagai harapan bangsa kini justru menjadi bagian dari masalah. Mahasiswa yang seharusnya kritis, malah menjadi apatis; yang seharusnya lantang, malah memilih bungkam. Apa yang terjadi?

Salah satu faktor utamanya adalah penjinakan intelektual yang dilakukan secara sistematis. Pendidikan tinggi kita kini lebih menekankan pada pencapaian akademik semata, mencetak mahasiswa menjadi robot-robot yang pandai menjawab soal ujian namun kering dari keberanian moral. Budaya kampus yang seharusnya menjadi ruang dialektika kritis kini lebih menyerupai birokrasi mini, di mana status dan gelar lebih dihargai daripada ide dan nilai. Dalam lingkungan seperti ini, pergerakan mahasiswa yang berbasis pada kesadaran sosial dan politik terasa seperti anomali, sesuatu yang tidak lagi dianggap relevan atau bahkan berbahaya.

Satirnya, kita hidup di tengah era digital yang menawarkan akses informasi tanpa batas, namun ironisnya, kebanyakan mahasiswa lebih banyak memanfaatkan teknologi ini untuk konsumsi hiburan. Mereka lebih tahu soal skandal selebriti ketimbang skandal politik, lebih peduli dengan tren media sosial ketimbang isu HAM yang terjadi di depan mata. Mungkin mereka berpikir, "Biarkan orang lain yang berjuang, saya cukup menonton dari jauh." Sikap seperti ini tidak hanya memperlihatkan ketidakpedulian, tetapi juga menegaskan bahwa mereka telah terperangkap dalam ilusi kebebasan, padahal sesungguhnya mereka hanya menjadi objek dari manipulasi kapitalisme global yang semakin menggurita.

Mahasiswa juga tampak terjebak dalam rutinitas hedonisme baru: belanja online, nongkrong di kafe mahal, dan berfoto di tempat-tempat yang instagrammable. Mereka menikmati kenyamanan hidup, lupa bahwa di luar sana banyak yang masih berjuang untuk bertahan hidup. Mereka mengaku sibuk dengan tugas kuliah, padahal waktu mereka lebih banyak dihabiskan untuk hal-hal yang tidak produktif. Mungkin mereka merasa bahwa sekadar membagikan tautan petisi atau mengunggah twibbon sudah cukup untuk menunjukkan kepedulian. Namun, aksi-aksi simbolik seperti itu hanyalah pelarian dari kenyataan, tidak cukup untuk menggerakkan perubahan nyata.

"The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing," kata Edmund Burke. Jika mahasiswa yang disebut-sebut sebagai generasi terbaik bangsa ini tidak berbuat apa-apa, lalu siapa yang akan menentang penindasan dan ketidakadilan? Ketika mahasiswa memilih diam, ketika kampus menjadi sepi dari suara perlawanan, kita harus bertanya: Apakah ini berarti kita merestui semua bentuk ketidakadilan yang terjadi?

Mungkin ada yang berkata, "Bergerak itu berisiko, ada harga yang harus dibayar." Benar, tapi bukankah sejarah membuktikan bahwa tanpa keberanian mengambil risiko, tidak akan ada perubahan? Mahasiswa angkatan '66 berani melawan rezim Orde Lama, mahasiswa '98 berhasil menggulingkan Orde Baru. Apa yang akan dikenang dari mahasiswa hari ini? Mungkin hanya sebagai generasi yang lebih sibuk dengan selfie daripada mencari jati diri, lebih suka mengikuti trend daripada menentang tyranny.

Saya, sebagai mahasiswa, tidak ingin menjadi bagian dari generasi yang hanya bisa diam. Saya merindukan kembali semangat kritis di kampus-kampus kita, semangat untuk tidak hanya berdiam diri di menara gading tetapi juga turun ke lapangan, memperjuangkan apa yang benar. Kita tidak bisa hanya puas dengan status quo, karena sejarah tidak pernah ditulis oleh mereka yang diam. Mari kita tunjukkan bahwa kita, mahasiswa hari ini, masih peduli dan masih berani. Karena jika bukan kita yang bergerak, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi?

Tidak ada yang lebih berbahaya bagi sebuah bangsa selain mahasiswa yang memilih bungkam. Diam adalah bentuk ketidakpedulian yang paling parah. Mari kita bangkit dari keheningan ini, mengubah kampus kembali menjadi benteng perlawanan, dan memastikan bahwa suara kita masih lantang, sekeras yang pernah ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun