Mohon tunggu...
muhammad hafiz ali
muhammad hafiz ali Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA Komunikasi dan Penyiaraan Islam UIN SMH BANTEN

Seorang Mahasiswa jurusan komunikasi dan penyiaran Islam yang berpengalaman dibidang public speaking dan organisasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Persepektip Ulama dan Cendikiawan Islam terhadap Demokrasi

22 November 2024   12:51 Diperbarui: 22 November 2024   13:04 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam hal ini al-Maududi seorang jurnalis, teolog, dan filsuf politik pakistan sunni, dan mayor pemikir islam abad ke-20, secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala  hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler ( bersifat dunia atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian ). Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modrn ( Barat ) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi ( berdasarkan tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang di terapkan di barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan terbatas pada para pendeta.

Mohamad Iqbal

Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga di katakan oleh intelektual Pakistan ternama M.Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi srpiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah  mengabaikan keberadaan agama kalua anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang di tolak oleh Iqbal bukan demokrasi. Melainkan, praktiknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbalmenawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:

Tauhid sebagai landasan asasi, Kepatuhan kepada hukum, Toleransi sesame umat beragama, Tidak dibatasi wilayah, ras,dan warna kulit.

Abdurahman Wahid (Gus Dur)

Pemikiran Abdurahman Wahid, mantan presiden Republik Indonesia ke-4, tentang demokrasi lahir dari keperihatinannya terhadap kondisi politik yang terjadi. Kata yang cukup mewakili suasana dan keadaan politik pada masa orde baru saat ini adalah 'mencekam'. Dimana kekuasaan pemerintahan tidak bisa diganggu gugat. Segala bentuk Tindakan yang dianggap mengancam eksistensipemerintahan akan di bekuk dengan alasan keamanan dan keutuhan negara.

Pemikiran Gus Dur soal demokrasi sejatinya merupakan antitesa terhdapap realitas yang ada. Ia vokal menggembor-gemborkan demokrasi disamping kebebasan, desentralisasi dan pemenuhan hak-hak minoritas. Pemikiranya muncul dari kegelisahan filosofis atas otoritarisme pemerintahan. Pemikiran Gus Dur mencoba untuk mengentaskan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku politik yang mengatasnamakan negara. Oleh Jeans Bartelson kekerasan ini di sebut sebagai kekerasan represif dan koersif.

Untuk melenyapkan demokrasi seolah-olah yang terjadi, Gus Dur memberikan beberapa poin yang dijadikan sebagai parameter berhasil atau tidaknya demokrasi.

Petama, kedaulatan hukum. Hal ini secara tegas dinyatakan dalasm konsitusi kita. Bahwa setiap persoalan yang terjadi harus di selesaikan berdasarkan hukum ( supermasi hukum ). Dalam hierarki perundang-undangan Indonesia, UUD 1945 berada di puncak ( grundnorm) sekaligus menjadi sumber dari segala hukum. Dimana didalam UUD 1945 diatur mengenai hubungan antar lembaga negara dan masyarakat untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Artinya, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tidak boleh bertindak sewenang-wenang.

Kedua, penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). HAM merupakan hakkodrati yang melekat bagi setiap manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang perlu dihormati, ditegakan dan di junjung tinggi oleh setiap manusia, negara dan hukum.

Ketiga, penghargaan terhadap pluralitas. Realitas Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, keyakinan dan bahasa merupakan sebuah potensi sekaligus ancaman. Dengan paradigma pluralisme, keragaman tersebut bisa memperkokoh demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun