Mohon tunggu...
Muhammad Hafiz
Muhammad Hafiz Mohon Tunggu... -

Pernah nyantri di salah satu pesantren di Sumatera Selatan. 6 tahun di bilik-bilik pesantren, melanjutkan ke UIN Syarif HIdayatullah Jakarta Fakultas Syariah dan Hukum. Saat ini beraktifitas di HRWG, sebuah Kelompok Kerja HAM Indonesian untuk Advokasi HAM internasional.\r\nBlog pribadi http://membumikantoleransi.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Amah” Laiknya "Budak" di Malaysia dan Arab Saudi

20 Maret 2012   07:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:43 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Amah berasal dari bahasa Arab, yaitu amatun (hamzah, mim, dan ta’ marbuthah), yang berarti hamba sahaya atau budak perempuan. Sejak sebelum masa Nabi Muhammad, tepatnya pada masa-masa pra Islam, Amah atau hamba sahaya ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Arab, bahkan di hampir di seluruh bagian wilayah di dunia.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh nabi Muhammad saat itu adalah menghapuskan praktik-praktik perbudakan, walaupun untuk melakukan penghapusan secara sekaligus itu merupakan hal yang tidak mungkin. Secara historis dan faktual, perbudakan ternyata baru bisa dihapuskan secara global pada abad keduapuluh, 14 abad setelah Islam diturunkan. Hal inilah yang menunjukkan bahwa upaya untuk selalu menyempurnakan implementasi nilai-nilai luhur itu terus berjalan sampai kapanpun.

Kembali ke persoalan buruh migran dan perbudakan. Harus diakui bahwa dewasa ini masyarakat dunia telah menghapuskan perbudakan sebagai salah satu pelanggaran kemanusiaan. Namun penting pula untuk menegaskan bahwa perbudakan yang dilihat dalam konteks ini tidak boleh lagi dilihat secara kaku dan sempit, sebagaimana pengertian budak pada zaman-zaman dahulu. Jauh sebelum masyarakat berkembang, budak laiknya barang dagangan yang dapat dijualbelikan oleh para bangsawan atau siapapun yang memiliki uang. Ia dapat diibaratkan seperti halnya sapi piaraan, yang bebas digunakan oleh pemilik dan diperas tenaganya untuk melakukan semua tindakan dari majikan.


Ibarat sapi pula, budak tidak diberikan gaji atau upah dari setiap apa yang ia kerjakan. Hanya makan, minum dan kebutuhan pokok yang menunjang kerja-kerjanya saja yang diperhatikan oleh sang majikan. Termasuk dalam hal ini – dan diperbolehkan oleh hukum Islam awal – untuk menggauli budak-budak perempuan oleh majikannya, tanpa dinilai sebuah dosa atau kesalahan. Budak hanya mampu mengharapkan belas kasih dari seorang majikan untuk dimerdekakan atau menebus dirinya sendiri dengan harta yang ia miliki. Tentu bukan suatu hal yang mudah, karena sistem penguasaan budak yang absolut tidak memungkinkan mereka untuk menyimpan (menabung) sejumlah uang.

Dalam hal inilah, perbudakan modern dewasa ini harus didefinisikan secara lebih bijak dan kontekstual. Tentu tidak akan ditemui bila hendak mencari atau melihat praktik perbudakan seperti sedia kala, di mana seseorang diperlakukan seperti binatang. Tetapi secara tersirat, praktik yang dialami oleh buruh migran Indonesia sekarang ini dapat dilihat sebagai salah satu bentuk perbudakan modern. Apalagi, Negara yang cukup sering bermasalahan dengan buruh migran adalah Arab Saudi dan Malaysia, yang sama-sama menggunakan istilah “amah” (tanpa menafikan pelanggaran buruh migran di Negara-negara lain).

Mengapa Arab Saudi dan Malaysia? Karena walaupun secara eksplisit masyarakat atau pemerintah di kedua Negara tersebut menolak telah melakukan perbudakan dan mengakui bahwa perbudakan sendiri telah dihapuskan oleh komunitas internasional, tetapi secara maknai (implisit) kedua Negara tersebut sulit melepaskan budaya perbudakan.Tatkala budak yang secara definitif telah terhapuskan, maka buruh migran yang nota bene meninggalkan Indonesia demi sesuap nasi juga diposisikan sebagai budak (amah). Tentu secara etimologis “amah” dalam masyarakat Muslim (Arab dan Malaysia) telah memiliki makna yang barunya, yang lebih diartikan sebagai “pembantu”, “kacung”, atau “babu”, tetapi paradigma yang masih tertanam di benak mereka adalah para “budak” yang dapat diperlakukan semauanya. (Note: Secara pribadi, penulis mengartikan PRT dengan Pekerja Rumah Tangga dan bukan Pembantu Rumah Tangga).

Karena paradigma ini pula mengapa di kedua Negara tersebut TKW yang menjadi PRT seringkali mengalami penganiayaan, seperti perkosaan dan upah tidak dibayar. Terang saja TKW melawan ketika majikannya memaksa untuk berhubungan intim, karena bagi TKW ia hanya bekerja sebagai PRT laiknya di Indonesia. Tetapi tidak bagi sementara majikan. Dengan mengeluarkan sejumlah uang ke Agensi (yang bisa jadi dipandang oleh pengguna jasa sebagai penjual budak), para majikan merasa bahwa ia telah memiliki perempuan tersebut sebagai budak laiknya zaman jahiliyah. Demikian pula dengan upah yang tidak dibayarkan tentu dapat dimaklumi bila menggunakan perspektif ini. Dalam sistem perbudakan, budak tidak harus dibayar atau diupah karena sepenuhnya telah dimiliki majikan.

Untuk itulah, permasalahan TKI yang ada di luar negeri tidak hanya membutuhkan perbaikan di jalur hukum, namun yang lebih penting lagi adalah memperbaiki budaya masyarakat Muslim yang masih memandang bahwa buruh migran yang bekerja di rumah mereka tersebut adalah budak (amah) seperti sedia kala. Mendesak bagi kita semua, terutama Pemerintah, untuk membuat sebuah kesepakatan internasional dalam menghapuskan perbudakan modern terhadap TKI ini, selain juga memperbaiki sistem perlindungan dan penempatan TKI, dari hulu ke hilir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun