Mohon tunggu...
Muhammad guntur
Muhammad guntur Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Mahasiswa

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM semoga kita di berikan umur yang panjang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hakikat Teori Multiple Intelligences dalam Pembelajaran (Howard Gardner)

18 November 2024   14:59 Diperbarui: 17 Januari 2025   17:04 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengertian Teori Multiple Intelligences

Seorang ahli pendidikan lain dari Harvard University bernama Howard Gardner berpendapat bahwa tidak ada manusia yang tidak cerdas. Paradigma ini menentang teori dikotomi cerdas-tidak cerdas. Gardner juga menentang anggapan "cerdas" dari sisi IQ (intelectual quotion), yang menurutnya hanya mengacu pada tiga jenis kecerdasan, yakni logika-matematik, linguistik, dan spasial. Untuk selanjutnya, Howard Gardner, kemudian memunculkan istilah multiple intelligences. Istilah ini kemudian dikembangkan menjadi teori melalui penelitian yang rumit, melibatkan antropologi, psikologi kognitif, psikologi perkembangan, psikometri, studi biografi, fisiologi hewan, dan neuroanatomi (Armstrong, 1993; Larson, 2001).

Dikotomi anak cerdas dan tidak cerdas, serta pemberian label hiperaktif, gangguan belajar, dan prestasi di bawah kemampuan, mendorong para pendidik untuk mempelajari teori Multiple Intelligences. Setelah menemukan delapan bukti dari teorinya, Gardner meneguhkan kriteria temuannya tentang sembilan kecerdasan dalam multiple intelligences. Howard Gardner (1993; Armstrong, 1993) menyadari bahwa banyak orang bertanya-tanya tentang konsep multiple intelligences. Benarkah musikal, visual-spasial, intrapersonal, dan kinestetik dapat dikategorikan sebagai kecerdasan, dan bukan bakat? Untuk menguatkan temuan dan keyakinannya, Gardner menyusun kriteria tertentu yang harus dipenuhi oleh setiap kategori kecerdasan

Bagi para pendidik dan implikasinya bagi pendidikan, teori multiple intelligences melihat anak sebagai individu yang unik. Pendidik akan melihat bahwa ada berbagai variasi dalam belajar, di mana setiap variasi menimbulkan konsekuensi dalam cara pandang dan evaluasinya. Kecerdasan anak juga didasarkan pada pandangan pokok teori multiple intelligences (Armstrongs, 1993) sebagai berikut:

Setiap anak memiliki kapasitas untuk memiliki sembilan kecerdasan. Kecerdasan-kecerdasan tersebut ada yang dapat sangat berkembang, cukup berkembang, dan kurang berkembang.

Semua anak, pada umumnya, dapat mengembangkan setiap kecerdasan hingga tingkat penguasaan yang memadai apabila ia memperoleh cukup dukungan, pengayaan, dan pengajaran.

Kecerdasan bekerja bersamaan dalam kegiatan sehari-hari. Anak yang menyanyi membutuhkan kecerdasan musikal dan kinestetik.

Anak memiliki berbagai cara untuk menunjukkan kecerdasannya dalam setiap kategori. Anak mungkin tidak begitu pandai meloncat tetapi mampu meronce dengan baik (kecerdasan kinestetik), atau tidak suka bercerita, tetapi cepat memahami apabila diajak berbicara (kecerdasan linguistik).

Temuan kecerdasan menurut paradigma multiple intelligences, telah mengalami perkembangan sejak pertama kali ditemukan. Pada bukunya Frame of The Mind (1983) Howard Gardner pada awalnya menemukan tujuh kecerdasan. Setelah itu, berdasarkan kriteria kecerdasan di atas, Gardner menemukan kecerdasan yang ke-8, yakni naturalis. Dan terakhir Howard Gardner memunculkan adanya kecerdasan yang ke-9, yaitu kecerdasan eksistensial. Menurut Gardner kecerdasan dalam multiple intelligences meliputi kecerdasan verbal-lingustik (cerdas kata), kecerdasan logis-matematis (cerdas angka), kecerdasan visual-spasial (cerdas gambar-warna), kecerdasan musikal (cerdas musik-lagu), kecerdasan kinestetik (cerdas gerak), kecerdasan interpersonal (cerdas sosial), kecerdasan intrapersonal (cerdas diri), kecerdasan naturalis (cerdas alam), kecerdasan eksistensial (cerdas hakikat). Setiap kecerdasan dalam multiple intelligences memiliki indikator tertentu. Kecerdasan majemuk anak diidentifikasi melalui observasi terhadap perilaku, tindakan, kecenderungan bertindak, kepekaan anak terhadap sesuatu, kemampuan yang menonjol, reaksi spontan, sikap, dan kesenangan.

Peran Sekolah Bagi Perkembangan Anak dalam Multiple Intelligences

Problematika pendidikan sekolah di Indonesia mengalami masa-masa penuh dilema. Pendidik hingga saat ini masih menerapkan pendekatan akademik penuh hafalan. Praktik yang sesuai dengan kebutuhan/perkembangan anak belum seluruhnya diterapkan. Keberhasilan belajar anak diukur dari kepatuhan, kemampuan kognitif dan sosial anak. Anak-anak dengan kecerdasan kinestetik, intrapersonal, dan naturalis dianggap sebagai anak-anak yang bermasalah. Beberapa pendidik, bahkan, mengecap mereka sebagai anak yang hiperaktif, kuper, dan jorok. Pandangan ini telah membawa efek yang merugikan bagi anak-anak, terutama bagi perkembangan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun