Mohon tunggu...
Muhammad Firdaus Habibillah
Muhammad Firdaus Habibillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif di UIN Mulana Malik Ibrahim Malang

mahasiswa teknik informatika s1

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Cyber Defens Girl: Tiga Langkah Melawan Serangan Siber Modern

25 September 2024   22:41 Diperbarui: 25 September 2024   22:49 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siber (Sumber: Freepik.com)

Cyber Defense Grid: Tiga Langkah Melawan Serangan Siber Modern

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia digital telah menjadi arena pertempuran baru bagi organisasi bisnis, pemerintah, dan lembaga-lembaga kritis di seluruh dunia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kristel M. de Nobrega, Anne-F. Rutkowski, dan Carol Saunders (2024) dalam jurnal Journal of Strategic Information Systems, ancaman siber semakin berkembang dan beragam, dari serangan Denial-of-Service (DoS) hingga ancaman persisten tingkat lanjut (APT). Data menunjukkan bahwa 32% perusahaan, termasuk 69% perusahaan besar, melaporkan mengalami serangan siber pada tahun 2023 dengan biaya rata-rata mencapai USD 4,5 juta per insiden. Lebih dari itu, risiko terhadap infrastruktur kritis kini menempati posisi lima teratas dalam survei Global Risks Perception (2023). Fakta-fakta ini menggambarkan betapa gentingnya situasi keamanan siber saat ini.

Artikel ini tidak hanya menyoroti meningkatnya frekuensi dan intensitas serangan, tetapi juga memberikan panduan strategis melalui pengembangan Cyber Defense Grid. Grid ini didasarkan pada teori militer dan keamanan siber untuk membantu para profesional keamanan, khususnya Chief Information Security Officers (CISOs), menghadapi ancaman dengan cara yang lebih terorganisir. Menggabungkan metode reaktif, heuristik, dan proaktif dalam pertahanan siber, artikel ini mencoba menjawab pertanyaan mendesak: Bagaimana organisasi dapat menyusun strategi yang tidak hanya bertahan dari serangan tetapi juga mencegah dan memprediksi ancaman siber yang akan datang?

Artikel ini menawarkan perspektif bahwa serangan siber bukan lagi hanya ancaman teknis semata, melainkan ancaman strategis yang bisa memengaruhi ekonomi, keamanan nasional, dan bahkan kesejahteraan sosial di seluruh dunia.

***

Penelitian yang dilakukan de Nobrega et al. (2024) memperkenalkan Cyber Defense Grid, sebuah kerangka kerja yang dibangun dari teori militer dan konsep keamanan siber. Grid ini terdiri dari tiga mode strategi yang sangat relevan untuk diterapkan oleh organisasi: reaktif, heuristik, dan proaktif. Masing-masing mode memiliki keunggulan tersendiri dalam melawan ancaman siber yang semakin canggih. Namun, statistik menunjukkan bahwa sebagian besar organisasi masih terpaku pada mode reaktif, di mana 72% anggaran keamanan siber dialokasikan untuk tindakan identifikasi, proteksi, dan deteksi (Coden et al., 2023). Sementara hanya 18% yang digunakan untuk respon, pemulihan, dan kesinambungan bisnis, sehingga menandakan kurangnya kesiapan dalam menghadapi dampak serangan yang lebih luas.

Pendekatan reaktif memang penting karena memungkinkan organisasi untuk bertindak cepat setelah terjadi serangan. Namun, mode ini hanya berfokus pada perlindungan setelah serangan terjadi, seperti yang ditunjukkan dalam serangan besar-besaran SolarWinds pada 2020 yang melumpuhkan infrastruktur global. Sebaliknya, pendekatan heuristik memungkinkan organisasi untuk mengantisipasi serangan dengan lebih baik. Dengan menggunakan simulasi kognisi manusia dan game theory, para profesional dapat memahami bagaimana penyerang berpikir dan merencanakan serangan. Ini adalah langkah kritis mengingat semakin banyaknya ancaman siber yang melibatkan aktor negara atau kelompok terorganisir yang menggunakan serangan berkelanjutan tingkat lanjut (APT) untuk menghancurkan infrastruktur penting, seperti yang terjadi pada sektor energi dan pemerintahan.

Yang paling revolusioner adalah mode proaktif, di mana teknologi kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin (ML) digunakan untuk mendeteksi dan mengatasi ancaman sebelum serangan dilakukan. AI memiliki kemampuan untuk menganalisis anomali di jaringan secara real-time, memberikan peluang bagi organisasi untuk memitigasi kerentanan bahkan sebelum penyerang menyusup. Meskipun teknologi ini baru diterapkan di beberapa organisasi besar yang mampu mengalokasikan sumber daya, ini menunjukkan masa depan pertahanan siber di mana sistem otomatis dapat menggantikan respons manual dalam menghadapi ancaman yang semakin cepat dan kompleks.

Ketiga mode ini menunjukkan bahwa pertahanan siber tidak bisa lagi dilihat sebagai urusan reaktif semata. Melainkan, harus menjadi strategi menyeluruh yang mengintegrasikan teknologi canggih dengan pemahaman mendalam mengenai motif dan metode para penyerang.

***

Pada akhirnya, pertahanan siber modern membutuhkan pendekatan yang lebih maju dan terintegrasi, sebagaimana diuraikan oleh de Nobrega et al. (2024). Dengan mengandalkan Cyber Defense Grid, organisasi memiliki kesempatan untuk mengadopsi strategi yang lebih menyeluruh dan dinamis dalam menghadapi serangan siber yang semakin kompleks. Pendekatan reaktif tetap relevan untuk respons cepat, namun tidak lagi cukup di tengah munculnya ancaman yang lebih canggih, seperti APT. Menggabungkan pendekatan heuristik dan proaktif, terutama dengan memanfaatkan AI dan pembelajaran mesin, menjadi kunci untuk bertahan di masa depan.

Selain itu, organisasi perlu lebih banyak berinvestasi dalam mode heuristik dan proaktif. Dengan alokasi anggaran yang saat ini hanya 18% untuk pemulihan dan respons (Coden et al., 2023), jelas bahwa masih ada kesenjangan besar dalam kesiapan banyak organisasi untuk menghadapi dampak jangka panjang dari serangan siber. Di masa depan, keberhasilan dalam pertahanan siber tidak hanya akan ditentukan oleh seberapa cepat organisasi bisa bereaksi, tetapi juga seberapa baik mereka dapat memprediksi dan mencegah serangan sebelum terjadi.

Dalam dunia yang semakin tergantung pada teknologi digital, pertahanan siber bukan lagi opsional, melainkan kebutuhan strategis yang harus menjadi prioritas utama. Organisasi yang gagal mengadopsi strategi ini akan menemukan diri mereka tertinggal dan berisiko mengalami kerugian yang jauh lebih besar. 

Referensi

de Nobrega, K. M., Rutkowski, A.-F., & Saunders, C. (2024). The whole of cyber defense: Syncing practice and theory. Journal of Strategic Information Systems, 33(101861). https://doi.org/10.1016/j.jsis.2024.101861

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun