Mohon tunggu...
Muhammad Fikri Abdillah
Muhammad Fikri Abdillah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Magister Universitas Pertahanan

Sedang menempuh pendidikan Magister Ekonomi Pertahanan di Universitas Pertahanan Republik Indonesia, tertarik dengan topik Sosial Politik dan Pertahanan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Memahami Kebijakan Biodiesel di Indonesia

16 Mei 2024   14:31 Diperbarui: 16 Mei 2024   14:39 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebijakan Biodiesel di Indonesia merupakan langkah strategis yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan energi, mendukung perekonomian nasional, dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, kebijakan ini mengutamakan peningkatan energi baru terbarukan (EBT) untuk memenuhi kebutuhan energi. Indonesia, sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, memanfaatkan potensi ini untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan meningkatkan nilai tambah minyak sawit domestik. Pemerintah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebagai bagian dari kesepakatan internasional seperti Perjanjian Paris.

Kebijakan biodiesel ini bertujuan untuk diversifikasi energi dengan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan memanfaatkan sumber energi terbarukan, serta mencapai ketahanan energi melalui produksi bahan bakar dalam negeri. Tujuan lainnya termasuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menggantikan bahan bakar fosil dengan biodiesel yang lebih ramah lingkungan. Kebijakan ini dimulai dengan inisiatif bertahap dari B10 (10% biodiesel), B20, B30, dan direncanakan untuk mencapai B50 di masa depan.

Aturan dan regulasi terkait kebijakan biodiesel ini tertuang dalam beberapa peraturan penting. Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2018 tentang Percepatan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati mengatur kewajiban penggunaan biodiesel 20% (B20) dalam bahan bakar solar yang dijual di Indonesia, yang kemudian ditingkatkan menjadi 30% (B30) dengan rencana untuk B40 dan B50. Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2015 mengatur subsidi dan insentif untuk produsen biodiesel agar harga biodiesel tetap kompetitif dengan bahan bakar fosil dan menetapkan mekanisme penentuan harga biodiesel berdasarkan harga minyak sawit mentah (CPO) dan biaya produksi. Peraturan Menteri Keuangan No. 177/PMK.05/2018 mendirikan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk mengelola dana yang dikumpulkan dari ekspor minyak sawit guna mendukung program biodiesel, termasuk subsidi harga biodiesel. Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2019 menetapkan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan mandatori biodiesel, termasuk sanksi bagi pihak yang tidak mematuhi.

Kebijakan biodiesel di Indonesia memiliki dampak positif dalam aspek ekonomi, lingkungan, dan ketahanan energi. Dari sisi ekonomi, kebijakan ini meningkatkan nilai tambah produk minyak sawit domestik, mengurangi defisit perdagangan energi melalui pengurangan impor bahan bakar fosil, serta meningkatkan pendapatan petani kelapa sawit. Di bidang lingkungan, biodiesel memiliki jejak karbon yang lebih rendah dibandingkan bahan bakar fosil, sehingga berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, penting untuk mengelola produksi kelapa sawit secara berkelanjutan guna mencegah deforestasi dan kerusakan ekosistem lokal.

Dalam hal ketahanan energi, kebijakan ini membantu diversifikasi sumber energi dan mengurangi ketergantungan pada minyak bumi, yang pada gilirannya meningkatkan ketahanan energi nasional. Produksi biodiesel dalam negeri juga membantu menjaga stabilitas pasokan energi dan mengurangi dampak fluktuasi harga minyak global. Namun, terdapat tantangan dan risiko yang harus diatasi. Produksi berkelanjutan menjadi perhatian utama, di mana perlu ada upaya untuk memastikan bahwa perluasan lahan untuk kelapa sawit tidak menyebabkan deforestasi. Penerapan sertifikasi berkelanjutan seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) juga menjadi penting untuk memastikan praktik yang ramah lingkungan.

Infrastruktur juga menjadi tantangan besar, di mana perlu ada pengembangan infrastruktur distribusi dan penyimpanan biodiesel yang memadai untuk mendukung program mandatori. Selain itu, adaptasi teknologi pada mesin dan kendaraan diperlukan untuk memastikan kinerja optimal dengan campuran biodiesel yang lebih tinggi. Dari sisi ekonomi, fluktuasi harga minyak sawit mentah dapat mempengaruhi stabilitas harga biodiesel, dan keberlanjutan program ini sangat bergantung pada ketersediaan dana subsidi yang dikelola oleh BPDPKS.

Dalam analisis politik dan kepentingan, berbagai aktor terlibat dan memiliki kepentingan dalam kebijakan biodiesel ini. Pemerintah pusat, termasuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Pertanian, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memiliki peran penting dalam implementasi dan dukungan kebijakan ini. Perusahaan sawit dan produsen biodiesel juga mendapatkan manfaat dari peningkatan permintaan minyak sawit. Sektor transportasi dan industri perlu beradaptasi dengan penggunaan biodiesel, sedangkan masyarakat dan konsumen mengharapkan harga bahan bakar yang stabil dan terjangkau. LSM lingkungan dan organisasi internasional mendukung kebijakan ini jika dilaksanakan dengan cara yang berkelanjutan.

Dampak terhadap pertahanan negara dan kebutuhan militer juga signifikan. Diversifikasi sumber energi dengan meningkatkan produksi biodiesel dapat mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil, yang penting untuk ketahanan energi nasional. Biodiesel dapat menjadi bagian dari cadangan energi strategis dan memastikan keandalan pasokan bahan bakar. Selain itu, investasi dalam teknologi biodiesel dapat mendorong inovasi yang bermanfaat bagi sektor militer dan sipil, termasuk pengembangan mesin yang lebih efisien dan ramah lingkungan.

Kesimpulannya, kebijakan biodiesel Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan ketahanan energi nasional dan mendukung kebutuhan militer dengan menyediakan sumber bahan bakar yang lebih berkelanjutan dan mandiri. Implementasi yang efektif memerlukan koordinasi antara berbagai aktor politik dan kepentingan, serta penanganan tantangan terkait produksi berkelanjutan dan infrastruktur. Jika dikelola dengan baik, kebijakan ini dapat mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil, meningkatkan efisiensi operasional militer, dan memberikan manfaat ekonomi bagi petani dan industri domestik.

Referensi :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun