Seorang insan menjadikan yang biologis tersebut sebagai penyokong dirinya untuk hidup mengabdi pada nilai yang lebih tinggi dari manusia itu sendiri, ia tetap makan nikmat, namun makan nikmat hanyalah alat baginya dan bukan tujuan baginya, yang biologis baginya hanyalah sesederhana alat untuk bertahan hidup dan berbagi cinta dengan yang lainnya.
Namun sekarang masyarakat modern terjebak pada yang biologis ini, ia terpenjara oleh ketubuhannya sendiri, fatalnya lagi mereka menganggap bahwa kenikmatan sejati letaknya adalah pada yang biologis ini.Â
Masyarakat modern kini telah asing dari yang namanya pembatasan diri, menjaga kebersihan jiwa, pengorbanan spiritual, transendensi diri, yang mana hal-hal yang tersebut adalah dimana kenikmatan sejati ditemukan, adalah dimana kebermaknaan hidup ditemukan.
Orang yang terjebak pada lembah kulinerisme dan seksualisme tidak akan mampu meneguk keindahan dunia kesejatian yang penuh keindahan, dunia kulinerisme dan seksualisme sungguh kering dan nirmakna, sebab jika makanan lezat telah disantap tamak dan nafsu syahwat telah meronta bagai serigala, kita akan masuk ke dalam pola dialekti biologis sirkuler makan-seks-makan-seks yang tiada berkesudahan, dan jika ini sudah terjadi pada diri kita sudah pasti kesejahteraan psikologis dan kebasahan spiritual adalah korbannya.Â
Pertanyaan yang perlu untuk direfleksikan oleh orang yang terjebak dalam dialektika biologis makan-seks-makan-seks yang tiada berkesudahan tersebut adalah "apa yang membedakan anda dari binatang?"
Menemukan makna kebebasan yang sejati
"Kebebasan adalah hak primordial manusia", begitulah kata (Allahyarham) Cak Nur, seorang cendekiawan Muslim besar Indonesia. "Kebebasan bukan tujuan, tapi jalan untuk menemukan batasan-batasan", begitulah kalam seorang Cak Nun, seorang budayawan Indonesia, kedua kalam tersebut dapat kita jadikan titik tolak untuk upaya kita menemukan makna sejati dari kebebasan.Â
Kebebasan primordial artinya adalah kebebasan sebagai anugerah bawaan manusia sejak ia lahir yang menjadi piranti paling berharga bagi manusia itu sendiri, manusia hidup sekaligus mampu mengalibrasi arah hidupnya akibat kebebasan yang ia miliki dalam dirinya sejak ia lahir, bayangkan jika manusia tidak memiliki kebebasan dalam hidupnya? Jangankan untuk hidup nyaman, manusia itu sendiri pun tidak akan hidup jika kebebasan itu tidak ada.Â
Namun para pseudo-liberalis berhenti untuk memaknai kebebasan pada kebebasan primordial semata, sehingga anugerah primordial tadi dianggapnya bisa digunakan untuk melakukan apapun yang nikmat baginya untuk dilakukan, ia ingin makan banyak baginya tiada yang berhak melarangnya, ia ingin berhubungan seksual sembarangan pun baginya tiada yang berhak melarangnya pula. Bagi mereka sederhana, jika kebebasan itu primordial dan dia dibatasi, artinya sama saja manusia itu dicabut kebebasannya yang artinya sama saja ia dinistakan hakikatnya sebagai manusia.
Makna dari kebebasan sesungguhnya tidak bisa hanya berhenti dimaknai sebagai "yang primordial bagi manusia" semata, namun sesungguhnya kebermaknaan dari kebebasan itu mesti dinilai dari output empiris apa yang hadir dari kebebasan yang primordial tersebut, sehingga kebebasan akan bermakna jika ia dipahami sebagai "anugerah untuk menemui batas dalam kehidupan" dan "alat untuk menciptakan kebaikan dalam kehidupan".Â
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa primordialitas kebebasan akan menemukan maknanya jika ia dijadikan alat untuk menemukan batasan-batasan dalam kehidupan kita, karena hanya jika kita tahu batas-batas dari kehidupan kita inilah kita bisa menciptakan output kebaikan dalam kehidupan.Â