Pendidikan di Indonesia kembali dihebohkan oleh kasus guru yang dipenjara akibat tindakan terhadap muridnya. Hal ini memicu perdebatan di masyarakat. Sebagian mendukung karena dianggap sebagai salah satu cara mendidik mental murid, sementara yang lain menilai tindakan tersebut sudah tidak relevan. Lalu, pertanyaannya: mana yang benar?
Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Di Indonesia, pendidikan diwajibkan minimal selama 12 tahun sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mencakup sekolah dasar selama enam tahun, menengah tiga tahun, dan tingkat atas tiga tahun. Pendidikan sendiri terbagi menjadi tiga jenis: informal (keluarga), formal (sekolah), dan nonformal (pengajian, sekolah minggu, atau les tambahan).
Dalam konteks keluarga, anak pertama-tama mendapatkan pendidikan informal sejak usia balita hingga masa kanak-kanak. Pada tahap ini, pola asuh orang tua sangat diperlukan sebagai persiapan anak memasuki pendidikan dasar. Pendidikan dasar menjadi fondasi penting untuk kemampuan anak bersosialisasi dengan teman-temannya. Ketika memasuki pendidikan formal, anak mulai bertemu dengan berbagai macam latar belakang budaya. Ada yang berbicara lembut dengan sopan santun, ada pula yang to the point dan keras. Di sinilah lingkungan mulai membentuk kepribadian anak, baik dari cara mereka berkomunikasi dengan teman maupun guru.
Memasuki jenjang pendidikan menengah, anak mulai mengeksplorasi diri dengan bekal pengetahuan yang telah didapatkan sebelumnya. Mereka mulai membentuk kelompok pertemanan yang memengaruhi kepribadian dan perilaku. Pada tahap ini, pengawasan orang tua tetap penting untuk memastikan anak berteman dengan lingkungan yang positif. Teman-teman dan kebiasaan mereka menjadi kunci apakah anak akan menjadi rajin atau justru sebaliknya.
Anak-anak yang rajin biasanya lebih mudah diarahkan oleh guru. Sebaliknya, anak-anak yang cenderung nakal membutuhkan pendekatan lebih. Perilaku mereka bisa mencakup bolos sekolah, tawuran, atau merokok. Guru, yang bertugas mendidik, sering kali dihadapkan pada tantangan besar untuk mengarahkan murid-murid ini. Tidak jarang, emosi muncul sehingga beberapa guru memberikan tindakan tegas, seperti memarahi atau bahkan memukul. Namun, tindakan tersebut sering kali dianggap kurang tepat.
Murid yang nakal umumnya ingin diperlakukan seperti teman. Dengan pendekatan ini, mereka merasa tidak dihakimi. Guru dapat mencoba mengingatkan murid secara tertutup, tidak di depan kelas. Jika cara ini tidak berhasil, mengajak orang tua untuk berdiskusi menjadi langkah selanjutnya. Orang tua tentu lebih memahami sifat anak mereka dan dapat bekerja sama dengan guru untuk mencari solusi terbaik.
Sebagai figur yang lebih dewasa di lingkungan sekolah, guru dituntut untuk bijak dan tidak ringan tangan. Guru harus menyadari bahwa siswa masih berada dalam proses pencarian jati diri. Memang benar bahwa kenakalan siswa perlu diantisipasi, tetapi pendekatan yang digunakan harus sesuai dengan kebutuhan dan minat mereka. Misalnya, anak yang suka tawuran dapat diarahkan untuk mengikuti ekstrakurikuler bela diri, sedangkan anak yang sering bolos bisa dibimbing untuk memahami pelajaran yang dirasa sulit.
Dengan pendekatan yang tepat, pendidikan di sekolah bisa terbebas dari kekerasan. Guru juga tidak perlu lagi khawatir dilaporkan akibat tindakan yang dianggap melampaui batas. Anak-anak pun akan merasa lebih nyaman dan termotivasi untuk menggali serta mengembangkan potensinya secara positif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H