Pada tahun lalu, pada tanggal 14 sampai 16 November 2023. Sejumlah pengungsi etnis rohingya berdatangan secara bergelombang ke Indonesia melalui Kabupaten Pidie, Bireuen, dan Aceh Timur. Kedatangan etnis rohingya bukanlah hal pertama kalinya ke Indonesia. Namun, kedatangan etnis rohingya pada tahun lalu itu mengalami penolakkan kuat dari masyarakat tahah air.
Kedatangan mereka dianggap menjadi sebuah masalah oleh sebagian masyarakat setempat. Apalagi sebelumnya dikatakan ada perlakuan tidak baik oleh beberapa warga rohingya kepada penduduk setempat. Sehingga membuat warga merasa geram dan marah atas perilaku mereka.
Kemarahan dan penolakkan warga setempat adalah hal yang wajar, apabila kedatangan pengungsi kehadirannya membuat rusuh dan memecah belah. Apalagi negara Indonesia juga tidak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi rohingya berdasarkan pada aturan Konvensi 1951 dan Indonesia tidak ikut meratifikasi.
Kemarahan atas kehadiran etnis rohingya tidak hanya di wilayah setempat saja. Namun, mulai menguat di wilayah Indonesia selainnya. Beredarnya informasi di media sosial mengenai perlakuan buruk beberapa orang dari etnis rohingya membuat masyarakat semakin marah dan muncul perasaan kebencian terhadap etnis rohingya. Media sosial telah menyajikan berbagai macam informasi negatif etnis rohingya. Mulai dari perilaku mereka membuang bantuan makanan dari penduduk setempat, ketika mendapatkan bantuan makanan yang layak mereka merasa kurang, dan penghancuran rusun di Sidoarjo.
Informasi negatif ini sangat mudah sekali mempengaruhi masyarakat, apalagi khususnya generasi Gen-Z yang itu banyak menghabiskan waktunya di media sosial. Informasi yang didapatkan dari media sosial sangatlah melimpah. Akan tetapi informasi yang melimpah ini bisa berpotensi juga sebagai berita bohong. Salah satu informasi negatif yang nyatanya bukanlah fakta terkait perlakukan etnis rohingya adalah kasus perusakkan rusun di Sidoarjo.
Dilansir dari detikJatim, Kasubsi Ketertiban Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Surabaya mewakili Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri Kabupaten Sidoarjo, Wahyu Tri Wibowo. Dia memastikan bahwa perilaku kerusakkan bukan dari etnis Rohingya melainkan pengungsi dari negara lain yang berjumlah 5 orang. Selama ini pengungsi rohingya cukup kooperatif dengan pemerintah bahkan mereka tidak pernah berdemo.
Dari informasi tersebut bisa kita sadari bahwa informasi perusakkan rusun di Sidoarjo oleh etnis rohingya adalah tidak benar. Informasi negatif ini muncul bertujuan agar masyarakat membenci etnis rohingya secara keseluruhan.
Adaikata pun jika memang benar ada perilaku etnis rohingya yang buruk. Bukankah itu hanya dilakukan beberapa orang saja? Namun kenapa hanya beberapa orang saja yang berbuat salah akhirnya semua etnis rohingya harus di benci? Padahal diantara mereka masih ada yang taat akan aturan pemerintah dan penduduk setempat.
Informasi negatif yang menyebar di media sosial ini jelas bahwa tujuannya agar masyarakat benci terhadap etnis rohingya, sehingga masyarakat melakukan tindakan kekerasan kepada mereka. Bukti nyatanya bisa dilihat dari peristiwa 27 Desember 2023 lalu. Kelompok mahasiswa di Aceh tiba-tiba menyerang dan mengusir paksa etnis rohingya dari tempat pengungsian di Balai Meuseraya Aceh (BMA).
Pengusiran ini dilakukan secara paksa oleh mahasiswa hingga membuat pengungsi yang terdiri dari anak-anak dan wanita trauma atas kejadian tersebut. Apalagi dari hasil wawancara yang dilakukan oleh BBC kepada pengungsi etnis rohingya. Disampaikan bahwa ada tindakan kekerasan yang dilakukan mahasiswa seperti pelemparan tas, pakaian, dan berbagai macam barang yang dibawa pengungsi.
Alasan mahasiwa melakukan tindakan anarkis terhadap etnis rohingya disebabkan pemerintah dikatakan tidak tegas dalam menolak etnis rohingya ketika memasuki wilayah Indonesia. Kemudian diperkuat oleh media yang menyampaikan sisi negatif etnis rohingya.