Mohon tunggu...
muhammad farhan
muhammad farhan Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Pelajar

Muhammad Farhan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Habib Bukanlah Habib Jika Perilakunya Tidak Sesuai Keteladanan Nabi Muhammad

9 April 2024   14:13 Diperbarui: 9 April 2024   14:13 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tongkrongan kopi kami mengalami perkembangan obrolan kemarin-kemarin. Muncul pembahasan mengenai beberapa orang yang mengaku habib, tetapi sebenarnya bukan. Ada pula laporan jurnalistik yang mendukung isu tersebut. Disebutkan bahwa terdapat fenomena jual-beli gelar habib. Nampaknya isu gelar habib tidak lebih populer di tengah masyarakat daripada isu korupsi Rp271 T. Meskipun demikian, isu gelar habib rasanya perlu diketengahkan guna meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai hubungan Islam, gelar tokoh agama, dan egalitarianisme.

Islam yang saya pahami adalah agama yang membawa nilai egalitarianisme. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya indikasi bahwa Nabi Muhammad bercita-cita menghapus kelas budak. Tak sampai di situ, penilaian tersebut diperkuat dengan adanya ayat Quran yang menegaskan bahwa semua manusia sederajat dan tolak ukur kemuliaan manusia di sisi Allah adalah ketaqwaan, bukan kekayaan, pengaruh polotik, kesaktian, kepintaran, maupun popularitas. Dua "bukti" tersebut cukup untuk menegaskan bahwa Islam, agama yang diajarkan Nabi Muhammad, adalah agama yang mengajarkan nilai egalitarianisme.

Akan tetapi, kenyataan hari ini agak lain. Praktik keberislaman kita, dalam hal bersosial, seringkali bersifat feodalistik; ada kelas sosial yang dianggap lebih tinggi daripada kelas sosial lainnya. Fenomena ini adalah warisan sejarah yang panjang. Mereka yang dianggap menduduki kelas sosial yang lebih tinggi antara lain adalah ulama, habib, kiai kharismatik, dan dai kondang. Apakah mereka benar-benar lebih mulia daripada masyarakat muslim kebanyakan? Entahlah. Hanya mereka pribadi dan Allah yang dapat menjawab pertanyaan itu. Kadar ketaqwaan seseorang tidak dapat secara mudah kita ukur dengan seksama. Kita hanya bisa menerka-nerka kadar ketaqwaan seseorang dari perilaku lahirnya. Urusan hati hanya Allah yang mengetahui. Terlepas dari tidak bisanya kita meneropong hati orang lain, penilaian perilaku lahir sudah cukup untuk dijadikan bahan penilaian. Jadi, meskipun sangat populer atau sakti, jika tidak berperilaku benar dan baik, seorang dai kondang bukanlah orang yang mulia; demikian juga halnya dengan ulama, habib, kiai kharismatik, santri, tukang becak, pedagang, guru, pejabat, dan nelayan.

Nabi Muhammad yang saya pahami adalah seorang yang memiliki warisan utama yang tidak berupa materi maupun DNA. Warisan utama beliau, selain Quran, adalah akhlaq dan keteladanan. Warisan itulah yang seharusnya kita pegang erat-erat. Warisan itu bukan hanya hak milik habib, malainkan hak milik umat. Sesuai dengan argumen sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa habib memang pewaris DNA, tetapi belum tentu pewaris warisan utama Nabi Muhammad. Selagi perilaku seorang (yang mengaku) habib, kiai, santri, nelayan, tukang ojek, guru mengaji, mahasiswa, dosen, ataupun pedagang tidak sesuai dengan keteladanan Nabi Muhammad, gelar pewaris Nabi Muhammad belum pantas diberikan kepadanya.

Masyarakat perlu lebih teliti dalam memberi gelar ketokohagamaan kepada seseorang. Bukan berarti bahwa seseorang yang pandai membaca Quran adalah seorang yang mulia jika perilaku lahirnya tidak benar dan baik, termasuk gelar habib. Jika berperilaku tidak benar dan baik, seorang habib belum pantas digelari habib; dia belum menjadi pewaris Nabi Muhammad yang sejati menurut saya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun