Mohon tunggu...
Muhammad Fajri
Muhammad Fajri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Student of Islamic Philosophy

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hakikat Diri Manusia

24 Mei 2024   20:06 Diperbarui: 24 Mei 2024   20:10 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pertanyaan tentang siapa manusia atau apa manusia sudah ada sejak zaman dahulu, mulai dari pertanyaan dari mana, dimana, untuk apa, kemana, dll. Sepanjang sejarah juga para filsuf, agamawan, ilmuan atau saintis, sosiolog berusaha menjawab menurut perspektif masing-masing mengenai hakikat manusia itu apa. Mulai dari Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politicon, para filsuf muslim menyebutkan manusia adalah mumkinul wujud, sebagian kalangan atau kaum yang meyakini antroposentris bahkan berpendapat bahwa manusia adalah pusat dari semuanya, dll. 

Pertanyaan ini kekal senantiasa akan selalu ada dan jawaban dari berbagai kalangan dengan perspektif dan latar belakangnya masing-masing akan selalu ada, namun sebenarnya apa hakikat diri kita sebagai manusia? Al-Qur'an menyebutkan dalam Surah Az-Zariyat : 56 " Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku." Dari ayat ini bisa kita simpulkan sebagai umat muslim bahwasannya Sang Pencipta menciptakan manusia hanyalah untuk beribadah. Namun beribadah seperti apa sehingga kita bisa memenuhi tujuan dari penciptaan kita dan menemukan hakikat diri kita sebagai ciptaan dari Sang Pencipta, dalam QS.Al-Baqarah : 185 disebutkan bahwasannya "..Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia.." Dengan begitu Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia sudah memberitahu akan tujuan penciptaan dari manusia dan dengan kita mengetahui tujuan penciptaan kita akan mengetahui hakikat diri kita yaitu sebagai ciptaan.
Hakikat manusia sebagai ciptaan dan diciptakan tidak lain untuk beribadah adalah langkah awal dan akhir untuk mengetahui hakikat diri. Sebaik-baiknya ciptaan dalam memanifestasikan ayat itu dalam beribadah tentunya adalah Rasulullah dan terekam dalam QS.Al-Ahzab : 21 "..Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.." Suri tauladan yang dimaksud adalah mencakup keseluruhan aspek yang ada pada diri manusia terutama dalam hakikat dan penciptaan. Ibadah yang dicontohkan oleh suri tauladan yang diberikan dari Sang Pencipta kepada manusia bukan hanya ibadah ritual semata, namun ibadah sosial, pendidikan, bahkan pengorbanan.
Rasulullah juga pernah berkata bahwasannya "Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak." Murtadha Mutahhari berpendapat dalam Yaddasytha-e Ustad-nya bahwa pengutusan Rasulullah adalah membentuk jiwa, akhlak, dan pendidikan umat, serta memiliki aspek emosional dan menggerakkan, bukan hanya aspek ilmiah dan keilmuan saja. 

Berbeda dengan akhlak Socrates yang bertumpu pada keutamaan dan kaidah akal serta hanya mempertimbangkan dimensi rasional. Karena alasan ini, ia kering, dan tetap tak bergerak. Dari sini bisa kita simpulkan bahwasannya Sang Suri Tauladan memanifestasikan perkataan dari Sang Pencipta yaitu diciptakan untuk beribadah bukan hanya sebatas ritual, namun Rasulullah mengetahui akan hakikat dirinya sebagai hamba dengan melakukan semua aspek yang dijelaskan oleh Murtadha Mutahhari.
Maka dari itu hakikat diri kita sebagai ciptaan dan manusia yang ditugaskan untuk beribadah kepada Allah dengan mengambil contoh dari yang telah diberikan oleh Sang Penipta yaitu Rasulullah adalah sosok atau makhluq yang mengemban tugas besar sebagaimana juga disebutkan dalam Hadis Qudsi Allah berkata "Wahai anak Adam aku ciptakan engkau untuk beribadah maka jangan bermain-main." Betapa banyak narasi yang menekankan dan menunjukan kepada kita bahwa apa itu hakikat dari manusia, yaitu sebagai hamba. Allah dan Rasul-Nya juga menunjukkan bagaimana menghamba dan menjadi hamba yang sempurna secara detail. 

Rasulullah diturunkan dalam wujud manusia agar kita bisa mengambil contoh dan merasakan seperti apa cobaan-cobaan, cara-cara, metode untuk bisa mengetahui hakikat diri kita sebagai hamba dan ciptaan. Tidak berhenti di Rasulullah, Ahlulbayt Rasulullah juga melanjutkan peran ke-Nabian bagaimana cara mengetahui hakikat dari menjadi manusia dan memenuhi tujuan dari penciptaan manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun