Mohon tunggu...
Muhammad Fajr
Muhammad Fajr Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cita-cita dan Harapan dari Seorang Tukang Kuli Bangunan

14 Agustus 2018   18:46 Diperbarui: 15 Agustus 2018   08:38 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada suatu hari di sebuah daerah yang bernama pulau Buton, Sulawesi Tenggara lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama Asmawing atau biasa dipanggil dengan sebutan Awi. Beliau terlahir dengan kondisi ekonomi orang tua yang stratanya dibawah. Awi kecil berjuang untuk mengemban ilmu di Sekolah Dasar (SD) hingga lulus dan berlanjut ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA).

Kesadaran bahwa pendidikan begitu penting bagi anaknya dan kewajiban menuntut ilmu menjadi penyemangat bagi pak Awi untuk memperjuangkan keinginan dari anaknya menjadi calon sarjana. Tak mengenal pekerjaan apa yang ia jalani dan tak peduli berapa besar biaya yang ia keluarkan untuk pendidikan sekolah anaknya. Pada tahun 2007 anaknya mulai duduk dibangku (SD) Sekolah Dasar. Hanya bermodalkan hasil upah yang ia dapat dari pekerjaan tukang kuli bangunan bulan lalu.

Ia mampu membayar uang masuk sekolah anaknya. Dari mulai pembayaran uang pangkal hingga biaya iuran lainnya yang lumayan mahal itu semua dia mampu membayarnya. Beliau mempunyai tekad dan cita-cita tinggi kepada anaknya. Istri beliau yang bernama ibu Endang yang selalu mendukung segala kegiatan yang dilakukan oleh suaminya. 

Pak awi dan ibu endang bersama-sama untuk menjaga serta merawat anak semata wayangnya. Pak awi memang terlahir dari keluarga miskin pasangan nelayan Atep (alm) dan Suryani (alm). Semua pekerjaan beliau lakoni demi menghidupi biaya hidup keluarga kecilnya. Mulai dari menjadi tukang kuli bangunan, buruh pabrik, hingga menjadi nelayan di desanya tersebut.

Awi merupakan tukang kuli bangunan di sebuah desa kecil di Buton, Sulawesi Tenggara. Umurnya sudah memasuki kepala empat (40 tahun), namun umur bukan perkara untuk tidak bekerja keras demi keluarga kecilnya. Kegiatan sehari-seharinya dia lakukan tanpa mengenal kata "bosan", dari mulai pagi sampai sore menjelang maghrib dan tak lupa beliau selalu menjaga sholat lima waktu. Dan begitulah rutinitas beliau setiap harinya.

Pekerjaan tukang kuli bangunan membuat dia mendapatkan pekerjaan hingga ke luar kota, sampai-sampai beliau bekerja hingga ke daerah Indonesia timur. Perjuangannya berbuah hasil dan membuat dia dipertemukan dengan keluarga Bapak Muhammad Hasan. 

Yang memberikan pekerjaan untuk membenah rumahnya Bapak Muhammad Hasan, yang merupakan majikan pertama beliau di daerah Ternate, sebelumnya pak awi memang belum mengenal Bapak Muhammad Hasan, awal mulanya pengenalannya yaitu ketika pak awi bekerja di salah satu rumah tetangganya pak muhammad hasan. Dan disitulah awal pertemuannya dengan pak Muhammad hasan.

Walaupun beliau pergi jauh, beliau tak lupa untuk membawa seluruh keluarganya dan beserta teman-teman kerja yaitu termasuk saudara-saudara sepupu yang profesi kerjanya sama dengan pak awi yaitu tukang kuli bangunan. Disitulah terlihat kekompakan dari keluarga pak awi. Yah, memang tak mudah bagi seorang tukang kuli bangunan seperti pak awi memiliki tempat tinggal. 

Pada akhirnya mereka mendapat tempat tinggal yang sebuah bangunan kosong yang di izinkan untuk tinggal oleh warga setempat. Tempat itu memang dikelola oleh warga setempat dan memang bangunannya separuhnya sudah roboh. Pemilik dari bangunan itu memang sudah meninggalkan rumahnya itu sejak perang antar agama yang terjadi pada tahun 1999. Dari situlah mereka meninggal bekas rumah yang disebabkan karena perang tersebut.

Pentingnya Pendidikan Dalam Lingkup Satuan Pendidikan 

Pak awi dan keluarganya tinggal disitu sambil bekerja merenovasi rumah dari pak Muhammad hasan. Disinilah awal mula perjalanan cerita pendidikan anaknya. Anaknya terpaksa untuk pindah sekolah. Tidak mengurungkan niat anaknya untuk tidak bersekolah, pak awi dan istirnya selalu memotivasi anaknya dalam hal membangkitkan semangat anaknya untuknya bersekolah. Orang-orang desa di kampung pak awi banyak memilih mencukupkan pendidikan. Tetapi beda dengan pemikiran pak awi. Pak awi justru berpikir bahwasanya pendidikan itu penting untuk masa depan anak bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun