Dengan begini kita dapat melihat ada paradigma dan makna lain dari Isra' Mi'raj. Momentum dimana Nabi Muhammad SAW pergi menuju Sidratul Muntaha untuk bertemu dengan Tuhannya hingga pulang membuat transformasi adalah momen tersirat dimana manusia harus melanjutkan tugas Beliau membuat transformasi di masing-masing daerahnya. Jika mengacu kepada perkataan Pak Kunto, itu merujuk pada seseorang yang mengaku dirinya adalah intelektual.
Intelektual boleh saja dimaknai orang-orang yang telah belajar setinggi mungkin, menjadikan namanya sepanjang mungkin, serta menambatkan ribuan gelar di belakang namanya sebanyak mungkin. Namun kembali lagi tentang bagaimana Nabi SAW pulang pasca mendapatkan keistimewaan bertemu Tuhan. Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan hubungan ruhaniah dengan Tuhannya. Sehingga jika seseorang ingin membuat perbaikan dalam kehidupannya, maka mulailah dengan melakukan, memperbaiki, atau menyempurnakan hubungan kita dengan Allah Subhanallahu wa Ta'ala. Hingga kemudian berbagai macam metode perbaikan yang akan ditempuh akan selalu terkoneksi dengan Tuhan pula. Realisasi semacam ini yang oleh Muhammad Iqbal disebut dengan Kesadaran Profetis.
Adalah keistimewaan bagi seorang insan yang dapat bertemu dengan menciptanya. Adalah momentum pula yang tidak mungkin orang lain dapatkan. Nabi Muhammad SAW menunjukan dan membuktikan diri-Nya adalah yang paling pantas untuk mendapati momentum tersebut karena kesempurnaan lahiriah dan ruhaniah beliau yang membuatnya layak bertemu dengan Tuhannya tanpa harus meninggalkan jasadnya. Namun sebagaimana sumpah Syekh Abdul Quddus, beliau tetap rendah hati untuk tetap turun ke bumi untuk membuat perubahan mengakar pada umatNya. Sehingga nikmatnya dapat kita rasakan sekarang.
Seorang intelektual yang mendapatkan keistimewaan dalam dirinya pun memegang tanggung jawab penuh untuk meneruskan pekerjaan Beliau melakukan transformasi dimanapun kesewenang-wenangan terjadi. Apapun yang akan para intelektual yang ku kagumi akan lakukan pasca membaca tulisan ini. Bagiku mereka yang menyadari dalam dirinya muncul kesadaran untuk merubah dirinya sendiri, seseorang atau suatu kaum menjadi lebih baik adalah seorang intelektual. Intelektual bukan yang sudah berhenti atau selesai belajar. Seorang intelektual sejati selalu menyadari bahwa dirinya akan selalu belajar dimanapun dan kapanpun.
Sehingga sampai disini dapat disimpulkan korelasi mengapa sholat menjadi jawabannya karena melalui sholat hubungan antar manusia dan tuhannya terjalin. Bayangkan jika Nabi dulu tidak membimbing umatnya melakukan sholat. Bagaimana mungkin kita melakukan transformasi jika kita tidak terkoneksi dengan Tuhan.Â
Berbagai kemajuan dan kemenangan Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW diawali dengan melakukan koneksi dengan Allah SWT. Maka bagi kita yang mungkin belum dapat melakukan transformasi secara sempurna. Mungkin ada yang salah dengan sholat kita :').
Ilmu Sosial Profetik: Salah Satu Solusi
Apapun cara yang akan dilakukan para intelektualis yang ku kagumi untuk membuat perubahan sosial dalam kehidupannya masing-masing selalu mendapati tempat terbaik di dalam pikiranku. Tidak ada yang salah dengan berbagai cara yang akan dilakukan para intelektualis karena sebagaimana ilmu sosial dimana ia berusaha membantu manusia menafsir setiap peristiwa yang dilaluinya. Maka jangan heran jika setiap solusi para intelektualis bersifat pragmatis karena disesuaikan dengan situasi kondisi. Namun izinkan aku bercerita soal bagaimana Pak Kunto menggagas solusinya :).
Ilmu sosial profetik merupakan ilmu yang dilandasi dari sebuah ayat Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 110:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. "
Melalui ayat tersebut didapati 3 kata kunci yaitu Amar Ma'ruf, Nahi Munkar, dan Tu'minuna Billah. Amar ma'ruf dimaknai sebagai humanisasi yang artinya memanusiakan manusia atau dalam bahasa agamanya adalah mengembalikan manusia pada fitrahnya. Kemudian nahi munkar sesuai dengan prinsip sosialisme yaitu liberasi adalah upaya pembebasan seseorang atau sekelompok kaum dari belenggu pengetahuan, sistem sosial, ekonomi, dan politik penguasa dzolim. Yang terakhir Tu'minuna Billah dimaknai sebagai transendensi yang berarti segala perbuatan manusia terkoneksi dengan Tuhan hingga membuat setiap peristiwa dalam hidupnya menjadi lebih bermakna (Kuntowijoyo, 2018: 107).