Pada peringatan 76 tahun berdirinya Korea Utara pada Senin, 9 September 2024, pemimpin Korut Kim Jong Un memerintahkan peningkatan kemampuan militer, termasuk persenjataan nuklirnya. Hal ini tidak terlepas dari perjanjian bilateral antara AS dengan Korea Selatan pada Juli 2024 mengenai pencegahan nuklir (nuclear deterrence) di kawasan Semenanjung Korea, yang dilihat Korea Utara sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara tersebut. Pidato itu tampak sebagai penegasan sikap negara tersebut yang telah menjadikan pengembangan nuklir sebagai kebijakan permanen dalam amandemen konstitusi yang dilakukan pada September 2023.
Potensi perang nuklir di Semenanjung Korea menjadi ancaman tak berkesudahan hingga kini. Bermula dari bantuan pengembangan teknologi nuklir Uni Soviet kepada Korea Utara di era Perang Dingin, negara tersebut kemudian mengembangkannya menjadi senjata penghancur massal di akhir era 1980-an. Korea Utara mengembangkan senjata nuklir sebagai bagian dari sistem pertahanan usai Soviet menunjukkan tanda-tanda kejatuhan di akhir era Perang Dingin. Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) memperkirakan Korea Utara memiliki sekitar 50 hulu ledak nuklir aktif pada tahun 2024.
Indonesia memang tidak memiliki kedekatan geografis dengan Semenanjung Korea. Tetapi, ancaman nuklir di Semenanjung Korea memiliki konsekuensi keamanan dan ekonomi yang bersifat global, sehingga tentu berdampak pula pada Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia sepatutnya berperan aktif mencegah potensi konflik tersebut. Keterlibatan dalam menjaga perdamaian dunia tidak hanya dilihat sebagai perwujudan cita-cita dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi juga sebagai pertimbangan pragmatis terkait kondisi keamanan Indonesia sendiri.
Potensi Dampak Perang Nuklir terhadap Indonesia
Salah satu doktrin utama dari strategi perang nuklir adalah kepastian saling menghancurkan, atau mutually assured destruction (MAD). Doktrin ini mengasumsikan pihak diserang dapat bertahan dari serangan nuklir yang mereka terima untuk dapat meluncurkan serangan balasan ke pihak penyerang. Dengan kata lain, kedua belah pihak akan sama-sama terdampak oleh serangan nuklir.
Korban jiwa dalam jumlah signifikan tentu akan berjatuhan. Perlu dicatat, bahwa negara-negara yang berpotensi menjadi palagan perang imbas perang nuklir di Semenanjung Korea seperti Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat memiliki populasi diaspora Indonesia dalam jumlah yang tidak sedikit. Padahal, pemerintah Indonesia berkewajiban menjaga nyawa penduduknya termasuk mereka yang ada di luar negeri.
Selain itu, gangguan ekonomi tentu juga dapat timbul akibat perang nuklir. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan tahun 2023, negara-negara Asia Timur seperti Cina, Jepang, dan Korea Selatan, termasuk dalam 10 besar tujuan utama ekspor nonmigas Indonesia. Perang nuklir di Semenanjung Korea tentu akan mengganggu alur perdagangan di kawasan Asia Timur, yang berdampak pada penurunan pendapatan ekspor Indonesia. Selain potensi penurunan ekspor, konflik geopolitik juga berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, berkaca pada konflik di Timur Tengah yang masih memanas saat ini.
Tidak hanya potensi kerugian korban jiwa dan ekonomi, kerusakan yang ditimbulkan perang nuklir juga berpotensi mengakibatkan krisis pangan. Sebuah riset tahun 2022 yang dipublikasikan di jurnal Nature Food memperkirakan setidaknya ada 255 juta penduduk bumi yang diperkirakan jatuh ke dalam krisis pangan jika ada 100 hulu ledak nuklir digunakan. Hal tersebut diakibatkan kontaminasi zat radioaktif yang mencemari tanah dan air serta gangguan iklim yang ditimbulkan oleh jelaga sisa ledakan yang beterbangan hingga atmosfer. Krisis pangan pun dapat memengaruhi stabilitas politik dalam negeri.
Apa yang Harus Indonesia Lakukan?
Berbagai dampak negatif dari konflik di Semenanjung Korea seperti yang sudah dijelaskan di atas sudah selayaknya menjadi pertimbangan serius bagi Indonesia. Sebagai negara yang terbesar di kawasan Asia Tenggara dan memiliki hubungan baik dengan Korea Selatan maupun Korea Utara, Indonesia dapat mengambil langkah-langkah proaktif untuk mencegah eskalasi konflik yang dapat berujung pada penggunaan senjata nuklir. Upaya diplomatik yang intensif, mediasi yang efektif, dan kerja sama multilateral harus terus didorong oleh Indonesia demi meredakan ketegangan dan membangun perdamaian yang berkelanjutan di Semenanjung Korea.Â
Indonesia dapat bergerak melalui organisasi ASEAN untuk menginisiasi negosiasi dan mediasi antara negara-negara yang berpotensi terlibat konflik. Hal ini lebih efektif untuk meningkatkan daya tawar Indonesia di hadapan pihak-pihak yang berkonflik yang notabene memiliki kekuatan militer atau ekonomi yang lebih besar dibanding Indonesia. Reputasi Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN juga berpotensi lebih memudahkan Indonesia untuk menginisiasi gerakan ASEAN sebagai juru pendamai di Semenanjung Korea. Tidak hanya itu, hubungan diplomatik Indonesia dengan pihak-pihak yang berkonflik, terutama dengan Korea Selatan dan Korea Utara, juga relatif lebih baik dibanding negara-negara ASEAN lain. Di kawasan ASEAN, Indonesia merupakan negara kedua setelah Vietnam yang mengakui kedaulatan Korea Utara dan hingga sekarang hubungan tersebut berjalan tanpa hambatan berarti.
Indonesia bersama negara-negara ASEAN dapat memanfaatkan Forum Regional ASEAN (ARF) sebagai wadah untuk menyerukan pihak-pihak yang berkonflik untuk menahan diri. Hal ini sejalan dengan ide pencetus studi konflik dan perdamaian, Johan Galtung, bahwa membangun perdamaian perlu melibatkan dialog konstruktif di antara pihak-pihak yang bertikai. ARF menjadi salah satu dari segelintir forum multilateral yang diikuti Korea Utara. Pada tataran ide, Indonesia bersama negara-negara ASEAN juga perlu tanpa henti menyebarkan pesan betapa mengerikannya dampak senjata nuklir kepada pihak-pihak yang bertikai sebagai pengingat bahwa senjata tersebut sepantasnya tidak lagi digunakan demi kemaslahatan bersama.
Pada tataran praktis, Indonesia bersama negara-negara ASEAN dapat lebih aktif menekan Korea Utara untuk mengurangi atau bahkan memusnahkan persediaan senjata nuklir negara tersebut. Namun ide denuklirisasi tidak akan berjalan jika kemudian Indonesia dan negara-negara ASEAN hanya terfokus pada Korea Utara tanpa menyadari bahwa pengembangan senjata nuklir negara tersebut tidak lepas dari persepsi ancaman negara itu dari negara tetangganya dan Amerika Serikat. Oleh karena itu, Indonesia dan negara-negara ASEAN juga wajib menekan aliansi Amerika Serikat-Jepang-Korea Selatan untuk lebih menahan sifat agresif terhadap Korea Utara dan aliansi Cina-Rusia untuk lebih aktif menekan Korea Utara yang notabene merupakan negara sekutu mereka.Â
Tentu ini akan menjadi upaya yang sangat berat bagi Indonesia dan negara-negara ASEAN untuk meredakan dan mencegah ketegangan serupa terjadi di masa mendatang. Hal ini tidak terlepas dari dinamika hubungan internasional yang erat kaitanya dengan kepentingan nasional tiap negara, yang juga bergantung pada kebijakan domestik di negara masing-masing. Namun, berkaca pada potensi mengerikan yang muncul jika perang nuklir benar-benar terjadi, maka upaya penciptaan perdamaian ini seharusnya sangat dipandang sangat berharga dibanding membiarkan ketegangan tersebut berlarut-larut hingga bisa memuncak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H