Beberapa waktu lalu, saya melihat sesuatu yang menarik di media sosial. Seorang anak muda membagikan video di TikTok, menari dengan iringan musik gamelan yang cukup energik. Banyak komentar yang memuji keberaniannya memperkenalkan budaya lokal, meskipun di tengah tren global yang mendominasi. Tapi, ada juga yang mengatakan, "Ini kok terasa agak jadul, ya?" Hal itu membuat saya berpikir, sejauh mana budaya lokal masih memiliki tempat di hati generasi muda sekarang?
Budaya Lokal di Tengah Trend Global
Kita hidup di era di mana segala sesuatu dapat diakses dengan mudah. Musik K-pop, drama Korea, atau film Hollywood hadir hanya dalam hitungan detik lewat ponsel kita. Ini bukan hal buruk, tetapi tanpa sadar, budaya lokal sering kali tersisihkan. Ambil contoh bahasa daerah. Di kampung saya, anak-anak jarang menggunakan bahasa ibu mereka. Bahkan, saya sendiri lebih sering berbicara dalam bahasa Indonesia, meskipun orang tua saya fasih berbahasa daerah.
Hal ini juga terlihat pada seni tradisional. Ketika saya menghadiri sebuah festival budaya beberapa waktu lalu, saya perhatikan bahwa penontonnya sebagian besar adalah orang tua. Anak muda lebih tertarik menghabiskan waktu dengan hal lain, seperti nongkrong di kafe atau bermain media sosial.
Harapan Itu Masih Ada
Meskipun begitu, saya merasa tidak semuanya suram. Media sosial, yang sering dianggap sebagai ancaman bagi budaya lokal, ternyata juga bisa menjadi alat yang kuat untuk melestarikannya. Beberapa kreator konten mulai memadukan unsur tradisional dengan sentuhan modern. Lagu daerah dibuat versi remix, dan hasilnya cukup menarik perhatian.
Namun, langkah-langkah ini perlu didukung oleh semua pihak. Pemerintah, misalnya, bisa lebih sering mengadakan acara budaya yang melibatkan anak muda. Sekolah juga bisa menjadi tempat yang efektif untuk mengenalkan budaya lokal dengan cara yang lebih menarik dan relevan.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?