Kasus kekerasan, intimidasi pada jurnalis terus mengalami peningkatan dalam beberapa waktu terakhir. Aliansi Jurnalis Indonesia atau AJI berpendapat, pada tahun 2006 sampai 2020 saja terdapat lebih dari 80 Â kasus kekerasan terhadap jurnalis di berbagai daerah di indonesia. Lalu dari LBH Pers sendiri sudah menyatakan bahwa peningkatan kekerasan terhadap jurnalis meningkat signifikan hingga 32 persen selama 2020, yaitu mencapai 117 kasus. Bahkan Kasusnya pun bermacam-macam, bahkan dari intimidasi, kekerasan fisik, perusakan, pencurian alat dan rekam data dari hasil liputan hingga ancaman atau teror. Meski sudah ada aturan untuk perlindungan jurnalis pada undang-undang Pers no.40 tahun 1999 yang dengan jelas mengatur bahwa oknum atau individu yang akan melakukan kekerasan kepada wartawan, jurnalis atau menghalangi kerja jurnalistik harus dituntut lewat jalan hukum, pada beberapa kasus belakangan ini, jurnalis masih saja merasa terbayang-bayangi oleh ancaman kekerasan ketika bertugas dilapangan. Pelakunya pun bermacam-macam, dan mayoritas dilakukan oleh aparat kepolisian, warga, TNI, oknum tidak dikenal, pejabat pemerintah, ormas, kader dari suatu partai, aparat pemerintah pusat, maupun mahasiswa.
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan asusila terhadap wartawan dan jurnalis. Dan kebanyakan terjadi karena rasa ketakutan dari seorang narasumber terkait informasi yang dipublikasikan oleh wartawan melalui media massa. Selain itu juga ada faktor pihak-pihak yang berpandangan bahwa pemberitaan di media dapat merugikan keperluan kelompoknya. Selain itu ada juga oknum yang beranggapan lembaga pers dan wartawan mampu memojokkan mereka sehingga membuat pihak tersebut melakukan tindakan di jalan hukum dan perundang-undangan. Selain itu, ada juga faktor yang dipengaruhi oleh internal, yang kemudian mempengaruhi intimidasi terhadap jurnalis. Beberapa contoh kasusnya ialah inkompetensi, pelanggaran berat etika jurnalistik, kualitas sumber daya manusia (tidak memenuhi Standar), kecerobohan, percaya diri berlebih dan interaksi dengan media dan berita.
Beberapa Kasus-kasus kontroversial terkait kekerasan kepada wartawan di awal tahun 2021,Diantaranya adalah kasus Nibras Nada Nailufar, 25 tahun, merasa lelah setiap kali melewati markas Polda Metro Jaya. Jurnalis dari Kompas ini mengalami trauma pada intimidasi yang dilakukan oleh polisi saat dia meliput aksi #ReformasiDikorupsi, demonstrasi mahasiswa yang menolak rancangan undang-undang yang dianggap tidak relevan di depan gedung DPR, pada Selasa malam 24 September 2019.
Selain itu, Jurnalis dari Katadata.co.id, saudara Tri Kurnia Yunianto, 28 tahun, yang juga terjun meliput aksi #ReformasiDikorupsi mendapat perlakuan lebih buruk dari oknum. Tri dikeroyok sejumlah anggota Brimob di kompleks DPR dengan dipukul, dijambak, ditendang, padahal kurnia sudah memberitahu dirinya seorang wartawan dan menunjukkan kartu pers, tetapi tetap saja di aniaya. "Mereka membuka isi galeri telepon genggam saya dan menghapus semua gambar-gambar hasil liputan," kata Kurnia kepada Tempo pada Jumat, 7 Februari 2020.
Dewan pers sendiri selalu menolak keras segala bentuk perilaku kekerasan, intimidasi verbal dan perusakan peralatan wartawan yang sedang melakukan kerja di lapangan. Kekerasan sendiri merupakan sebuah tindak pidana, dalam menjalankan tugasnya jurnalis mempunyai perlindungan hukum yang sudah sangat jelas diatur dalam Pasal 8 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Namun, pada pasal 8 UU Nomor 40 Tahun 1999 ini ketentuannya bersifat penindakan bukan pencegahan, Seharusnya ada teknis pelaksanaan yang lebih tegas dengan memberikan jaminan perlindungan terhadap wartawan dengan pencegahan, yaitu dengan meminimalisir terjadinya tindak kekerasan atau pelanggaran hukum terhadap wartawan.
Tindakan asusila yang terjadi pada jurnalis memaksa media untuk lebih membuka mata dalam memperhatikan keamanan dan keselamatan para jurnalis ketika bekerja. Saat mengalami tindak kekerasan, pada dasarnya jurnalis atau wartawan melakukan pengaduan kepada organisasi wartawan baik seperti, Â PWI, AJI ataupun Dewan pers. agar badan pers bisa menjadi tempat wartawan bernaung, dengan melakukan pendampingan kepada wartawan yang mengalami kekerasan saat melakukan pelaporan.
Opini saya untuk permasalahan ini adalah, untuk para pelaku kekerasan wajib untuk diberi sanksi dengan sebagaimana mestinya yaitu sesuai dengan pasal 18 ayat (1) UU Pers No 40 Tahun 1999. Selain itu, segala bentuk kekerasan terhadap orang (jurnalis) baik dengan bentuk verbal atau non verbal itu harus dihentikan. Apabila tidak, khalayak publik akan kehilangan institusi kepercayaan yang membantu mengawasi jalannya isu pada suatu negara, sekaligus sumber informasi.
Ditulis Oleh Muhammad Fahmi Amiruddin, Mahasiswa Ilmu Komunikasi - Universitas Muhammdiyah Malang.
Sumber :Â https://interaktif.tempo.co/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H