Mohon tunggu...
MUHAMMAD FADHLI
MUHAMMAD FADHLI Mohon Tunggu... -

Seniman minang yang bergerak di bidang sastra dan musik.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Padang, 7 Agustus 1669 (Sebuah Puisi Muhammad Fadhli )

4 Januari 2012   01:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:22 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PADANG, 7 AGUSTUS 1669

Langit gelap menudungi tanah basah air mata
dari hulu mata janda-janda sunyi yang merintih perih
meratapi jasad suaminya yang mati dibunuh kompeni
tangis bayi nya bertautan sepanjang malam
ratapan kehilangan orang tercinta
begitu tajam menyayat hati, luka dicelup asam perihnya
seperih bilah rebab melagukan duka
“Bapakmu tak ada lagi Nak.

Aliran batang Kuranji beriak mengukur waktu
amarah pun kian menumpuk di lumbung hati
subur tanah negeri kami hanyalah kelaparan bagi anak negeri
sawah yang luas hanyalah keindahan di pelupuk mata
kaya hasil alam negeri kami
untuk pengisi gelas-gelas arak kompeni
untuk melenakan nafsu birahi kompeni di ranjang empuk asusila
dan untuk kemegahan peradabannya negeri kolonial
hanyalah untuk kerakusan kompeni sang perampas nasi kami
megah di atas penderitaan kami bangsa terjajah
negeri kami bukanlah untuk kami
Bukankah kami pemilik sah negeri ini ?
Haruskah kami kan terus satu persatu mati kelaparan dalam kebodohan ?
Malam 7 Agustus 1669
aliran batang kuranji pun masih terus mengalir menuakan waktu
tiupan angin Gunung Naga membawa harapan
untuk wujudkan asa dengan reka rencana
berpedoman kedipan rasi bintang penunjuk arah
penuntun langkah sang pejuang
dan bermuara di depan loji Kompeni

Saatnya lah kami anak negeri
untuk bernyali
merebut hak anak-anak negeri kami
meski berbekal seadanya untuk berjuang
tak akan menggentarkan kami
saat kompeni lengah tiada mengira
pejuang-pejuang menyerang bertubi tiada kepalang
satu persatu kompeni bertumbangan
mengerang terkapar tak bernyawa di kaki pejuang
pejuang pun kian beringas tak tergoyahkan

Ini adalah negeri kami
milik bangsa kami
bermula di Pariyangan
beraja di Pagaruyung
Enyahlah kau, dari negeri kami !
Bambu runcing berlumur darah dan menetes ke tanah
menggetarkan nyali kompeni yang tersisa
dua puluh delapan ribu gulden kolonial menderita kalah
pejuang pun menguasai loji Kompeni
san bersorak-sorak gembira luapkan suka cita
Merdeka negeriku !
Indah Gunung Barisan, subur tanah di rebut kembali !
Milik rakyat negeriku !

7 Agustus 1669
adalah awal perjuangan bagi kedaulatan Padang
adalah hari VOC tak bertaji lagi
dan kekuasaan sepanjang pantai Minangkabau beralih
kuasa di tangan Dipatuan Agung di Pagaruyung
tertuju tulus terima kasih kami padamu Pejuang
Satu warisan sang pejuang, Padang Kota Tercinta.

(Padang, 19 September 2011)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun