Pernikahan antara individu yang memiliki agama berbeda sering kali menjadi bahan perdebatan mengenai apakah hal tersebut diperbolehkan atau tidak. Dalam agama Islam, pernikahan memiliki kaitan yang erat dengan penyempurnaan ibadah seorang Muslim. Ketika menentukan pasangan hidup, Rasulullah SAW telah memberikan panduan kepada umatnya untuk memilih pasangan berdasarkan beberapa kriteria penting. Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk menikahi seseorang berdasarkan empat aspek, yaitu harta kekayaan, garis keturunan, kecantikan, dan agama yang dianut. Anjuran ini dinyatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang artinya, "Nikahilah seorang wanita karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Utamakanlah mereka yang beragama (menjalankan agama dengan baik) karena dengan demikian, engkau akan beruntung." Hal ini menekankan pentingnya memilih pasangan yang taat beragama agar pernikahan tersebut dapat membawa keberkahan dan keberuntungan.
Menurut buku Ensiklopedi Fikih Indonesia Pernikahan yang ditulis oleh Ahmad Sarwat, dijelaskan bahwa dalam agama Islam, pernikahan beda agama tidak diperbolehkan, terutama jika sang suami bukan seorang Muslim. Jika seorang pria non-Muslim menikahi wanita Muslim, pernikahan tersebut dianggap tidak sah dan haram menurut hukum Islam. Dalam syariat Islam, menikah dengan pasangan yang berbeda agama dihukumi haram. Jika tetap dilakukan, pernikahan tersebut tidak diakui dan dianggap sebagai perbuatan zina. Oleh karena itu, Islam melarang pernikahan beda agama, terlebih lagi jika suaminya bukan seorang Muslim, karena jika pernikahan tetap dilakukan, statusnya tidak sah dan termasuk dalam perbuatan zina.
Di dalam Al-Qur'an, terdapat sejumlah ayat yang menjelaskan tentang hukum menikah dengan pasangan beda agama. Dalam buku tentang pernikahan beda agama dalam Al-Qur'an, disebutkan beberapa ayat yang berkaitan dengan topik ini. Salah satunya adalah Surat Al-Baqarah Ayat 221 yang berbunyi: "Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh, seorang hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Janganlah pula kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, seorang hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran."
Ayat ini dengan jelas menegaskan larangan bagi seorang Muslim untuk menikahi perempuan musyrik dan larangan menikahkan perempuan Muslim dengan laki-laki musyrik kecuali mereka telah beriman atau memeluk agama Islam. Meskipun calon pasangan tersebut memiliki penampilan yang menarik, seperti cantik, tampan, gagah, atau kaya, larangan ini tetap berlaku. Dalam ajaran Islam, larangan ini ditegaskan karena pernikahan memiliki hubungan erat dengan keturunan. Keturunan ini tidak hanya berkaitan dengan harta warisan, tetapi juga mencakup aspek penting lainnya seperti makanan dan minuman yang dikonsumsi, serta pendidikan dan pembangunan dalam Islam. Pergaulan sehari-hari diatur dengan ketat dalam Islam, dan pernikahan yang melibatkan pasangan beda agama dianggap memiliki implikasi yang jauh lebih besar, sehingga hukumnya haram dan dilarang.
Ada sejumlah pendapat dari empat imam besar dalam Islam mengenai pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita Kitabiyah (wanita dari kalangan Ahli Kitab). Menurut Imam Al-Syafi'i, seorang laki-laki Muslim diperbolehkan menikahi wanita Kitabiyah asalkan wanita tersebut berpegang teguh pada ajaran Taurat dan Injil sebelum turunnya Al-Quran, dan tetap beragama sesuai dengan kitab suci mereka. Dengan kata lain, Imam Al-Syafi'i mensyaratkan bahwa wanita Kitabiyah harus masih beriman dan menjalankan ajaran asli dari kitab suci Taurat atau Injil.
Sedangkan menurut tiga mazhab besar lainnya, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, pandangan mereka lebih fleksibel. Mereka memperbolehkan laki-laki Muslim untuk menikahi wanita Kitabiyah tanpa syarat bahwa agama Ahli Kitab tersebut harus tetap berpegang pada ajaran asli sebelum turunnya Al-Quran. Menurut ketiga mazhab ini, seorang laki-laki Muslim boleh menikahi wanita Kitabiyah secara mutlak, meskipun ajaran agama Ahli Kitab tersebut telah diubah atau dinaskh.
Pandangan-pandangan ini menunjukkan adanya perbedaan dalam interpretasi dan penerapan hukum pernikahan beda agama di antara para ulama, yang mencerminkan keragaman dalam tradisi fiqh Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H