Mohon tunggu...
Muhammad dzaki
Muhammad dzaki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa Universitas Prima Nusantara. Berada di Program Studi S1 Keperawatan saya melanjutkan studi saya yang sebelumnya juga berbasis pada Asisten Keperawatan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Stunting Sebab Malnutrisi Tak Teratasi , Bukti Ketimpangan Gizi di Indonesia

28 Januari 2025   23:07 Diperbarui: 28 Januari 2025   23:07 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Freepik/jcomp

Stunting dan malnutrisi masih menjadi dua tantangan besar yang mengancam kesehatan dan masa depan anak-anak di Indonesia. Stunting, yang mengacu pada kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1000 hari pertama kehidupan, berdampak serius pada kualitas hidup anak-anak. Anak-anak yang mengalami stunting cenderung memiliki tubuh yang lebih pendek dari anak seusianya dan berisiko tinggi mengalami gangguan kognitif, produktivitas rendah, serta penyakit kronis di masa dewasa. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, angka prevalensi stunting di Indonesia mencapai 21,6%, yang meskipun menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya, masih jauh dari target nasional sebesar 14% pada tahun 2024. Kondisi ini tidak hanya mencerminkan masalah gizi kronis, tetapi juga menyiratkan adanya tantangan sistemik dalam penyediaan akses makanan bergizi, layanan kesehatan, serta edukasi kepada masyarakat. Sebagai masalah yang berdampak luas pada kesehatan fisik, perkembangan kognitif, hingga produktivitas anak di masa depan, stunting membutuhkan perhatian serius dan pendekatan komprehensif untuk penanganannya.

Penyebab utama malnutrisi dan stunting sangat kompleks dan melibatkan berbagai faktor yang saling berkaitan. Faktor pertama adalah kurangnya akses terhadap makanan bergizi. Di banyak wilayah di Indonesia, terutama di daerah pedesaan dan terpencil, makanan yang kaya protein, vitamin, dan mineral sering kali sulit didapatkan atau terlalu mahal untuk masyarakat miskin. Akibatnya, anak-anak di wilayah ini lebih banyak mengonsumsi makanan yang tinggi karbohidrat tetapi rendah protein, seperti nasi tanpa lauk bernutrisi, yang tidak memenuhi kebutuhan gizi mereka. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan orang tua, khususnya ibu, juga berperan besar dalam kurangnya pemahaman tentang pentingnya pola makan sehat selama masa kehamilan dan masa kanak-kanak. Misalnya, banyak ibu yang tidak mengetahui pentingnya memberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan bayi, sehingga menggantinya dengan susu formula yang tidak seimbang secara nutrisi.

Selain masalah gizi, faktor kesehatan juga menjadi penyebab signifikan stunting. Penyakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) sering menyerang anak-anak di Indonesia, terutama mereka yang tinggal di lingkungan dengan sanitasi buruk. Penyakit-penyakit ini dapat menghambat penyerapan nutrisi oleh tubuh, bahkan ketika anak sudah menerima asupan makanan yang cukup. Kurangnya akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi yang memadai memperburuk situasi ini, menyebabkan anak-anak lebih rentan terhadap penyakit yang merusak kesehatan mereka. Faktor lain yang tak kalah penting adalah kondisi sosial-ekonomi keluarga. Kemiskinan yang meluas di banyak daerah di Indonesia membatasi kemampuan keluarga untuk memberikan makanan bergizi dan akses ke layanan kesehatan yang dibutuhkan untuk memantau tumbuh kembang anak secara rutin.

Dampak dari malnutrisi dan stunting sangat luas dan tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh masyarakat secara keseluruhan. Secara fisik, anak-anak yang mengalami stunting sering kali tumbuh lebih pendek dan memiliki daya tahan tubuh yang lebih lemah dibandingkan anak-anak seusianya. Mereka juga lebih rentan terkena penyakit kronis seperti diabetes dan penyakit jantung di masa dewasa. Secara psikologis, stunting dapat memengaruhi rasa percaya diri anak karena mereka merasa berbeda dari teman-temannya, terutama dalam lingkungan sosial. Anak-anak yang mengalami stunting sering kali menghadapi diskriminasi atau stereotip negatif di lingkungan mereka. Stigma ini dapat menyebabkan isolasi sosial dan rasa rendah diri yang semakin memperburuk kualitas hidup mereka. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan lingkaran setan di mana generasi berikutnya kembali terjebak dalam kemiskinan dan malnutrisi akibat kurangnya dukungan sosial untuk memperbaiki kondisi tersebut. Dari perspektif ekonomi, generasi muda yang tumbuh dengan kondisi stunting cenderung memiliki tingkat pendidikan dan produktivitas yang lebih rendah. Hal ini pada akhirnya berdampak pada pembangunan nasional, karena potensi sumber daya manusia yang seharusnya menjadi pilar utama pembangunan tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya.

Sebagai bagian dari upaya untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Indonesia meluncurkan Program Makan Bergizi Gratis pada Januari 2025. Program ini dirancang untuk memberikan makanan sehat kepada anak-anak usia sekolah dan ibu hamil di seluruh negeri, dengan fokus utama pada wilayah-wilayah dengan prevalensi stunting tinggi. Program ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam memperbaiki status gizi masyarakat, yang sangat penting untuk menurunkan angka stunting secara nasional. Namun, seperti banyak inisiatif skala besar lainnya, pelaksanaan program ini tidak lepas dari tantangan. Salah satu insiden yang menjadi sorotan adalah keracunan makanan yang terjadi di Jawa Tengah dan Kalimantan Utara, di mana sekitar 40 siswa mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan yang disediakan oleh program ini. Insiden ini menggarisbawahi pentingnya pengawasan yang ketat terhadap kualitas dan keamanan makanan yang diberikan, karena tujuan utama dari program ini adalah untuk meningkatkan kesehatan, bukan menambah risiko.

Terlepas dari tantangan tersebut, Program Makan Bergizi Gratis memiliki potensi besar untuk mengurangi angka stunting jika dikelola dengan baik. Salah satu langkah penting adalah memastikan bahwa makanan yang disediakan memenuhi standar gizi dan keamanan pangan. Selain itu, program ini perlu didukung dengan edukasi kepada orang tua dan anak-anak tentang pentingnya pola makan sehat dan seimbang. Edukasi ini dapat dilakukan melalui posyandu, puskesmas, atau sekolah-sekolah, sehingga masyarakat tidak hanya menerima makanan bergizi tetapi juga memahami pentingnya gizi dalam kehidupan sehari-hari. Pemantauan rutin terhadap status gizi anak-anak penerima program juga sangat penting untuk memastikan bahwa program ini benar-benar memberikan dampak positif. Pemerintah dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, termasuk perawat, untuk melakukan pemantauan ini secara berkala.

Dalam konteks kesehatan dan keperawatan, perawat memiliki peran penting dalam upaya penanganan malnutrisi dan stunting. Sebagai tenaga kesehatan yang berinteraksi langsung dengan masyarakat, perawat dapat memberikan edukasi kepada ibu hamil dan orang tua tentang pentingnya asupan gizi yang cukup selama kehamilan dan masa pertumbuhan anak. Selain itu, perawat juga dapat membantu dalam pemantauan tumbuh kembang anak melalui posyandu atau layanan kesehatan lainnya. Misalnya, pengukuran tinggi badan dan berat badan secara rutin dapat membantu mendeteksi dini anak-anak yang berisiko stunting, sehingga intervensi dapat dilakukan lebih awal. Perawat juga dapat berperan dalam memberikan intervensi klinis, seperti memberikan suplementasi gizi atau merujuk anak-anak dengan risiko tinggi ke spesialis gizi. Dalam lingkup yang lebih luas, perawat juga dapat menjadi advokat bagi masyarakat, mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih mendukung upaya penanganan malnutrisi dan stunting.

Prof. Dr. Ova Emilia, M.MedEd, Sp.OG(K), Ph.D., memberikan penjelasan penting mengenai intervensi stunting. Ia menjelaskan bahwa intervensi ini terbagi menjadi dua kategori, yaitu intervensi jangka pendek yang melibatkan peran tenaga kesehatan dan pemerintah, serta intervensi jangka panjang yang melibatkan peran individu dan masyarakat. Dalam pembahasannya di "Stunting: Deteksi dan Intervensi" yang ditayangkan melalui akun YouTube resmi UGM Channel, Prof. Ova menyebutkan bahwa sektor kesehatan berkontribusi sebesar 30% dalam pencegahan stunting, sementara 70% sisanya merupakan pengaruh dari masyarakat. Hal ini menegaskan bahwa peran masyarakat sangat krusial dalam upaya pencegahan dan penanganan stunting. Kolaborasi antar tenaga kesehatan, pemerintah dan masyarakat akan membantu pencegahan serta meningkatkan kesadaran akan dampak besar stunting dan malnutrisi dalam kehidupan.

Pada akhirnya, mengatasi masalah malnutrisi dan stunting membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. Program Makan Bergizi Gratis adalah merupakan contoh upaya dan komitmen pemerintah untuk memperbaiki status gizi masyarakat. Namun, keberhasilan program ini tidak hanya bergantung pada penyediaan makanan, tetapi juga pada pengawasan, edukasi, dan kolaborasi antara semua pihak yang terlibat. Dengan pendekatan yang tepat, Indonesia memiliki peluang besar untuk menurunkan angka stunting secara signifikan, memberikan kesempatan bagi setiap anak untuk tumbuh sehat, cerdas, dan produktif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun