Belakangan ini saya suka mendengarkan lagu Seperti Rahim Ibu yang dinyanyikan band Efek Rumah Kaca. Liriknya menggambarkan sebuah negeri impian, negeri serupa rahim ibu yang merawat kehidupan.
Saya selalu merasa tersentuh setiap kali mendengarkan lagu itu. Berulang kali diputar, berulang kali pula saya tersentuh. Terlebih saat teringat berbagai peristiwa yang sedang ramai belakangan ini, terkait perjuangan saudara sebangsa dan setanah air yang tetesan keringatnya tak lagi dihargai.
Tak perlu lagi dijelaskan secara mendetail kalau belakangan ini negeri kita sedang ramai oleh perjuangan saudara-saudara kita. Ah ya, mungkin anda tidak sepakat menyebut mereka sebagai saudara walaupun sebangsa dan senegara dengan mereka. Ya sudahlah, biarkan saja perspektif anda itu. Sekarang saya ingin melanjutkan tulisan ini.
Sejak beberapa bulan lalu, mereka memperjuangkan hal-hal yang menurut mereka baik. Tapi semua itu hanya menghasilkan generalisasi bahwa perjuangan mereka ditunggangi dan timbul sebab termakan hoaks ataupun disinformasi.
Jujur saja, saya ingin berteriak memaki dengan kata kasar kepada orang-orang yang mengeneralisasi itu. Jari jemari saya rasanya ingin menjadi mitraliur yang memuntahkan seisi kebun binatang kepada mereka semua. Tapi logika tentu berkata lain, masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan melakukan hal seperti itu. Tapi rasa punya pendapatnya sendiri. Ia berteriak tak terima.
“Ya kok ada orang yang begitu teganya menghargai jutaan tetes keringat para pejuang dengan kalimat seperti itu. Apakah sebegitu rendahnya derajat para pejuang itu di hadapan para anggota dewan? Bahkan diajak bicara dengan baik-baik pun tidak. Padahal katanya mereka saudara sebangsa dan senegara. Padahal katanya mereka mewakili rakyat Indonesia. Apakah yang turun ke jalan itu tidak dianggap lagi sebagai rakyatnya?”
Saya masih berharap ada orang-orang yang memiliki rasa kemanusiaan. Tapi melihat kenyataan hari-hari belakangan, hati saya tak tahu lagi ke mana kepercayaan bisa dilabuhkan. Hati saya bertanya-tanya, “Ke mana harapan harus ditambatkan? Masihkah harapan kaum papa diperjuangkan para “wakilnya”? Masih adakah yang benar-benar peduli? Tidakkah mereka punya rasa empati?”
Pada akhirnya, semua keluh kesah hanya menjadi nyanyian sunyi, hanya menjadi bait-bait risau, hanya menjadi kerinduan terpendam kepada negeri impian, negeri yang serupa rahim ibu.
Andai saja kemanusiaan tumbuh subur di negeri ini. Pastilah semua itu tak akan terjadi. Sebab kemanusiaan itu serupa terang pagi yang mampu merekahkan harapan dan menepis kabut kelam sebagaimana dijelaskan dalam lirik Serupa Rahim Ibu.
Sayangnya sebuah andai-andai hanya akan berujung pada keputusasaan. Terlebih ketika melihat kenyataan bahwa kemanusiaan semakin tenggelam, tergerus derasnya ombak keserakahan dan keapatisan.