Mohon tunggu...
Muhammad Delly Permana
Muhammad Delly Permana Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Administrasi Bisnis FISIP UI / 2012

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Energi Nabati Sagu: Kunci Kebangkitan Papua Barat

22 Desember 2014   04:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:45 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Papua tepatnya Papua Barat merupakan salah satu kawasan tertinggal di Indonesia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua sebagai indikator kemajuan daerah hanya sampai pada angka 69.15. Angka ini tentu jauh dibandingkan kawasan-kawasan lain di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Data umum menunjukkan bahwa IPM tersebut berbanding lurus dengan akses masyarakat setempat terhadap energi.

Akses masyarakat Papua Barat terhadap energi sangat terbatas. Daerah Papua Barat yang sulit dijangkau menjadikan Papua Barat menjadi kawasan yang mendapatkan minim pasokan. Papua Barat hanya mendapatkan 70 KL BBM dari kebutuhan 200 KL per harinya. Kekurangan yang berujung pada kondisi kelangkaan energi ditambah dengan rantai distribusi yang panjang membuat harga jual BBM melambung tinggi diatas harga normal. Dari kenaikan harga BBM pada November 2014, ambil contoh kenaikan premium dari 6.500 menjadi 8.500 berdampak lurus pada kenaikan BBM di Papua mulai dari 30.000 untuk daerah ibu kota, atau naik dari 60.000 menjadi 70.000 untuk daerah terpencil.

Papua Barat harus memanfaatkan sumber energi alternatif. Dibalik fakta-fakta mengenai kebutuhan BBM yang tidak terpenuhi, Papua Barat mempunyai plasma nutfah dari kekayaan sumber daya alam setempat. Salah satu kekayaan tersebut adalah tanaman sagu. DariAreal 51,3% sagu dunia terdapat di Indonesia, luas sagu di Papua mencapai 4.5 juta hektar atau setidaknyanya mencakup sekitar 90% areal sagu di Indonesia. Papua menjadi daerah potensial penghasil sagu (Budianto, 2003).

Sagu dewasa ini tidak hanya dilihat sebagai bahan makanan. Kandungan sagu dapat digunakan untuk menghasilkan energy yang dikenal sebagai biofuel, atau bahan bakar terbarukan dari olahan sumber nabati. Pati sagu mengandung kadar amilosa 23-27%, kadaramilopektin 70-80% yang menjadi bahan utama pembuatan biofuel(Whistler dan BeMiller, 1997).

Pengolahan sagu menjadi biofuel dapat djadikan untuk memenuhi kuota kebutuhan 200 KL yang masih kurang sekitar 110 KL. Berdasar uji coba yang dilakukan Laboratorium Biokimia Universitas Andalas, 1 kg ampas sagu atau sekurang-kurangnya 0,9 kg akan menghasilkan 0,38 L bioethanol. Apabila dihitung per satu pohon, 62.5 kg akan menghasilan kurang lebih 23.75 L bioethanol. Setidaknya untuk mendapatkan 110 KL bahan bakar memerlukan 4632 pohon yang akan memerlukan sekitar 30.88 hektar atau dibulatkan menjadi 31 hektar perkebunan sagu, yang diakumulasikan menjadi 744 hektar. Jumlah ini masih dapat dipenuhi oleh kapasitas pabrik sagu Perhutani. Pabrik sagu Perhutani memiliki kapasitas produksi sebesar 30.000 ton sagu per tahun dan mengelola lahan seluas 15.000 hektar

Berkaca pada Brazil sebagai salah satu Negara yang mempunyai komitmen dalam pengembangan biofuel. Krisis yang terjadi pada 1970 membuat Brazil menghentikan impor minyakdan mulai merancang industri pengolahan tebu menjadi biofuel terbesar di dunia dan mensubsidi rancang bangun dan manufaktur mobil berbahan bakar alkohol. Sebagai buki keseriuasannya, pemerintah mengajak perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional untuk menginvestasikan sekitar 6 milyar US dollar dalam perkebunan dan destilasi biofuel dalam 5 tahun yang akan datang (Theil, S, 2004).Alhasil pada dewasa ini, Brazil menjadi produsen biofuel terbesar di dunia dengan sekitar 400 unit buah pabrik ethanol (Macedo, I..C, 2004), pada tahun 2000 saja diperkirakan dapat menghasilkan biofuel sekitar 4 milyar galon atau 16 milyar liter setiap tahun (Santos, A.S et al, 2000). Dilihat dari ramalan akan permintaan energy, metode MARKAL yang merupakan model optimasi penggunaan energi berdasarkan biaya terendah, menghitung pada tingkat harga minyak adalah $60/barrel akan terjadi permintaan terhadap ragam bahan bakar. Pangsa penggunaan Bio-diesel pada tahun 2017 hingga 20125 akan mencapai 0,50 persen dan terus meningkat menjadi 10 persen dari total kebutuhan energi pada sektor transportasi. Sementara pangsa penggunaan ethanol terhadap penggunaan premium diperkirakan akan meningkat dari 2,52 persen pada tahun 2014, 10 persen pada tahun 2015 hingga mencapai 41,52 persen pada tahun 2019. Perhitungan ini menunjukkan peluang pasar yang besar dan begitu menjanjikan.

Biofuel akan menjadi solusi akan akses bagi 760.422 orang masyarakat Papua terhadap energi. Sifat biofuel yang ramah lingkungan, industri baru yang pasti akan menyerap banyak tenaga kerja dan pasokan yang melimpah di daerah setempat merupakan keunggulan kompetitif dari bisnis biofuel ini. Perwujudan dari industri biofuel harus didukung bersama, baik oleh pemerintah, investor, maupun masyarakat sekitar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun