Mohon tunggu...
Muhammad Day
Muhammad Day Mohon Tunggu... -

Menyukai Bidang Sosial, Politik dan Pembangunan

Selanjutnya

Tutup

Politik

KPK vs POLRI, Tontonan Ironi Yang Berulang

23 Januari 2015   21:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:30 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengejutkan, ngenes, dan miris'.   Ini mungkin kata yang pantas diungkapkan oleh sebagian kita saat ini untuk merespon ditangkapnya salah seorang Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto (BM) oleh  Kepolisian Indonesia (Polri).

Setelah sebelumnya akal sehat kita sudah diaduk-aduk oleh kejadian belakangan ini semenjak Presiden Jokowi memilih satu dari lima Calon Kapolri yang diusulkan Kompolnas, yakni Komjen Budi Gunawan (Komjen BG) yang sebelumnya disinyalir sebagai salah satu Jenderal Polisi yang memiliki rekening 'gendut' dari hasil yang diduga tidak patut.  Rumor di masyarakat yang tadinya masih samar, menjadi terpaku ketika KPK dengan berani men-tersangka-kan Komjen BG, meskipun pada saat yang sama sedang digadang-gadang untuk menggantikan Jenderal Soetarman sebagai Kapolri.

Keberanian dan 'kenekadan' KPK menjadikan Komjen BG 'tersangka'  menjadikan Presiden berada pada posisi sangat sulit dan terjepit (apalagi ditambah publik pendukung Jokowi justru berpihak kepada KPK).  Tidak kalah institusi Polri dan pihak-pihak yang mendorong Komjen BG menjadi Kapolri merasakan putusan KPK layaknya pukulan telak yang menyakitkan, juga memalukan.

Entah berkaitan atau tidak, sejak ketetapan KPK tersebut, publik kembali disuguhi oleh berbagai rumor dan berita yang juga berkonotasi 'tidak patut' yang ditujukan kepada Ketua KPK.  Dan hari ini (23/1/2015) KPK harus merasakan pukulan balasan dengan ditangkapnya BW oleh Kepolisian Indonesia.

Melepaskan diri dari benar-atau tidaknya seluruh persangkaan hukum yang ditujukan, baik kepada Komjen BG maupun BW (dan juga Abraham Samad dalam kasus lain yang dungkap Plt Sekjen PDIP), rasanya kita cukup dibuat gemetar, miris dan marah.  Bagaimana pun retorika yang dibuat untuk membenarkan terhadap keputusan yang dibuat, baik oleh KPK terhadap Komjen BG, atau oleh Polisi terhadap BW (atau bahkan isu yang ditujukan kepada AS), rasanya akal sehat kita tidak cukup sulit untuk men-justifikasi bahwa hukum kita tidak berada dalam batas bebas  kepentingan.

Politik ironi menjadi tontonan yang 'memuakan' bagi masyarakat.  Keinginan untuk menampilkan ketegasan hukum - meskipun dengan alasan sudah sesuai dengan kebenaran prosedur - jika tidak dilakukan dengan waktu dan pertimbangan yang tepat akan menjadikan kegaduhan yang tidak perlu.  Saya, saat kejadian 'Cicak-Buaya' yang juga memperhadapkan Polisi dan KPK waktu lalu, sudah  menuliskan bahwa tidak ada nilai kepentingan yang besar dengan menjadikan 'arogansi' kebenaran hukum oleh pihak tertentu 'menyepelakan etika dan kepatutan' sosial.  Kenapa kejadian 'cicak-buaya' yang dulu terjadi dan hanya menghasilkan "rasa malu" tidak menjadi pelajaran yang berharga bagi  "cicak dan buaya' saat ini yang seharusnya sudah tumbuh dewasa.

Tidak ada harapan yang paling besar bagi publik, kecuali ingin melihat setiap lembaga pemerintahan (KPK, Kepolisian, bahkan Presiden dan DPR) menampilkan wajah kebenaran hukum dan politik tanpa sebuah ironi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun