[caption id="attachment_404295" align="aligncenter" width="277" caption="diskominfo.jabarprop.go.id"][/caption]
Membaca Inpres No 5 Tahun 2015 yang merubah Inpres No 3 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras oleh Pemerintah tidak serta merta memberikan dalil bahwa ada perubahan signifikan terhadap kesejahteraan petani, pola pembelian atau pengadaan gabah/beras Bulog dan kestabilan harga di pasar. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) atas komoditi gabah/beras petani yang ditetapkan saat ini bisa hanya menjadi sekadar pemenuhan tuntutan kelaziman untuk pembaruan peraturan yang sudah lama tidak diusik keberadaannya, jika faktor yang lebih fundamental tidak ditengok untuk diperbaiki.
Menaikan HPP Gabah Kering Panen (GKP) menjadi Rp 3700/kg (dari sebelumnya Rp 3300/kg) atau HPP beras dari Rp 6600/kg menjadi Rp 7300/kg, bisa menjadi tidak ada artinya ketika mekanisme pasar tidak dikontrol secara serius oleh Pemerintah.Saat HPP Rp 3300/kg ditetapkan, gabah di pasaran sudah jauh di atasnya, bahkan sempat menembus Rp 4700/kg pada awal panen raya tahun 2014, bahkan meskipun turun masih tetap di atas harga Pemerintah.Akibatnya Bulog tidak memiliki kekuatan untuk bertarung dengan pasar untuk memperebutkan gabah berkualitas.Untungnya skema impor saat itu masih bisa menolong cadangan beras nasional untuk menutup pengadaan dalam negeri yang bisa disebut gagal.
Dalih yang mengatakan Bulog mampu melakukan pembelian dengan kuantitas cukup dari yang ditargetkan bisa jadi benar, tetapi menjadi tidak masuk akal jika ditilik kualitas beras yang didapat.Logikanya sangat kasat, tidak mungkin petani atau penggilingan padi menyerahkan gabah/beras ke Bulog yang harganya jauh dibawah harga pasar.Pertanyaannya kemudian adalah dari mana Bulog mendapatkan beras dalam negeri ?Filosofi harga menentukan kualitas adalah benar.Bulog memperoleh beras dari sisa yang sudah diperebutkan oleh pasar.Beras dari gabah-gabah rusak akibat telat dikeringkan, atau dari padi-padi yang terkena penyakit yang diserahkan ke Bulog.Bahkan dari beras-beras sisa ini pun masih perlu dimodifikasi ulang untuk mensiasati harga, yakni dengan menurunkan ketentuan yang ditetapkan Inpres, seperti kadar air (KA) yang ditinggikan dari ketentuan, kadar broken dan menir mendekati proporsi beras utuhnya, atau derajat sosoh yang jauh dibawah yang ditetapkan.Ini semua adalah konsekuensi yang ditempuh Bulog untuk mendapatkan beras peruntukan Raskin tersebut.Jadi tidak aneh jika beras raskin selama ini dikesankan sebagai beras yang tidak cukup baik.Padahal jika mengikuti aturan yang ada yaitu KA ≤ 14%, broken ≤ 20%, menir ≤ 2% dan derajat sosoh 95% memberikan petunjuk bahwa beras raskin masuk dalam grade medium yang dijamin tidak cepat rusak dan sangat layak konsumsi.
Apakah dengan kondisi yang saya sebut diatas, dimana harga pasar gabah selalu berada di atas HPP sudah cukup mencerminkan kesejahteraan petani.Jawabannya masih jauh dari harapan, karena tingkat produktivitas rata-rata pertanian padi kita masih belum cukup baik, besar biaya produksi yang tinggi dan kepemilikan atas areal lahan produksi yang semakin mengecil.Problem ini adalah faktor kunci untuk membuka jalan kesejahteraan dan bukan hanya melihat HPP semata, meskipun bukan berarti menafikan peran HPP untuk ikut menunjangnya.Terhadap harapan sebagian masyarakat petani atau intelek yang menginginkan HPP saat ini menjadi Rp 4500 atau menimpakan kewajiban pada Bulog untuk membeli seluruh produksi gabah petani sebagai asumsi untuk memberikan kesejahteraan petani adalah jalan pikiran yang berat untuk dinalar.Bisa dibayangkan kegaduhan lain sebagai akibat HPP yang tinggi, pasar akan bereaksi dan menjadikan harga pasar beras yang melonjak mengikuti harga gabah yang tinggi.Dengan rata-rata rendemen 50% saja maka harga beras medium akan menjadi Rp 9000/kg yang tentu masyarakat konsumen akan juga bereaksi.Dan tidak masuk akal lagi jika seluruh gabah dibeli Bulog, berapa banyak anggaran yang diperlukan untuk membeli 30-35 juta ton, atau kalau mungkin pun maka Pemerintah telah berlaku monopolistik yang menutup peran pasar beserta mekanisme tata niaganya.
Menurut saya yang paling penting adalah Inpres yang menetapkan HPP bukanlah Inpres tunggal, tetapi akan diikuti Inpres yang menetapkan harga pembelian untuk kategorisasi jenis kualitas gabah/beras yang berbeda.Dengan kondisi ini, petani atau penggilingan padi atau bahkan Bulog di tingkat lapangan tidak diajari untuk menjadi manipulatif karena keterbatasan ruang untuk membeli dengan harga dan kualitas wajar.Petani atau penggilingan akan menyesuaikan kualitas untuk memperoleh harga yang pantas.Bulog diberi kebebasan untuk membeli gabah-gabah super dan/atau beras-beras premium dengan harga wajar, dan diberikan ruang juga untuk menjadi bagian tata niaga beras-beras jenis tersebut.Dengan kondisi ini harga gabah di tingkat petani atau harga beras di pasaran akan terkoreksi dengan mekanisme yang dibangun.Fungsi Bulog sebagai pengendali dan logistik beras nasional setidaknya akan lebih mewujud.
Sumber foto :Â diskominfo.jabarprop.go.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H