Dulu, istilah "putus" identik dengan musuhan, unfollow Instagram, dan saling diam saat ketemu di tongkrongan. Seolah-olah hubungan yang gagal harus diakhiri dengan permusuhan total.
Kalau ketemu mantan di acara reuni atau nongkrong bareng teman, suasana bisa langsung canggung dan penuh basa-basi kaku. Namun, pola pikir itu kini mulai bergeser.
Generasi Z anak muda yang tumbuh di era digital dan melek emosi memandang hubungan dengan cara yang jauh lebih fleksibel.
Bagi mereka, berakhirnya kisah cinta bukan berarti harus memutus semua komunikasi. Justru, jika hubungan itu pernah sehat dan saling mendukung, kenapa harus musnah total?
Kini, banyak dari mereka yang tak segan untuk tetap berteman dengan mantan, bahkan menjalin kolaborasi kerja, nongkrong bareng, atau saling mendukung di media sosial.
Fenomena ini menandai perubahan besar dalam cara anak muda memaknai perpisahan bukan sebagai akhir segalanya, tapi mungkin awal dari bentuk hubungan yang baru.
Perspektif Baru: Putus Bukan Berarti Musuh
Generasi Z tumbuh di era keterbukaan emosional dan self-awareness. Mereka sadar bahwa tidak semua hubungan berakhir karena hal buruk.
Kadang, perpisahan terjadi karena alasan sederhana: tidak cocok, beda tujuan hidup, atau ingin fokus pada diri sendiri. Itu bukan kegagalan, tapi keputusan dewasa yang diambil bersama.
Bagi Gen Z, hubungan tidak harus bersifat “semua atau tidak sama sekali.” Setelah putus, mereka lebih memilih untuk melihat mantan sebagai bagian dari perjalanan hidup bukan sebagai musuh yang harus dihindari.