Di era digital yang serba cepat ini, anak muda dihadapkan pada berbagai tren gaya hidup yang menarik, mulai dari nongkrong di kafe, traveling, membeli gadget terbaru, hingga mengikuti fashion terkini.
Media sosial berperan besar dalam membentuk pola konsumsi generasi muda, di mana segala sesuatu yang baru dan menarik mudah tersebar dan menciptakan keinginan untuk selalu mengikuti tren.
Fenomena ini membuat gaya hidup kekinian tidak hanya menjadi pilihan, tetapi juga terasa seperti kebutuhan demi menjaga eksistensi di lingkungan sosial.
Namun, di tengah berbagai tuntutan gaya hidup tersebut, banyak anak muda yang masih mengandalkan gaji UMR (Upah Minimum Regional) sebagai sumber pendapatan utama.
Dengan biaya hidup yang terus meningkat, terutama di kota-kota besar, muncul pertanyaan: apakah gaji UMR cukup untuk menjalani gaya hidup modern sekaligus menabung untuk masa depan? Ataukah tekanan sosial dan kebiasaan konsumtif membuat menabung menjadi sesuatu yang semakin sulit dilakukan?
Gaji UMR vs. Biaya Hidup: Cukup atau Pas-pasan?
Setiap tahun, pemerintah menetapkan besaran UMR untuk setiap daerah, yang seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar pekerja. Namun, realitas di lapangan sering kali berbeda.
Di banyak kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, biaya hidup terus meningkat, membuat gaji UMR terasa pas-pasan bahkan sebelum memasukkan pengeluaran untuk gaya hidup.
Komponen utama pengeluaran bulanan mencakup kebutuhan pokok seperti makanan, transportasi, tempat tinggal, dan tagihan utilitas.
Harga sewa kamar kos atau apartemen di daerah perkotaan bisa mencapai lebih dari separuh gaji UMR, belum lagi biaya transportasi yang ikut naik seiring dengan harga bahan bakar dan tarif transportasi umum. Kebutuhan sehari-hari seperti listrik, air, dan internet juga menjadi beban tambahan yang tidak bisa dihindari.