Dulu, saat nongkrong di warung kopi atau kafe bersama teman-teman, ada satu momen yang selalu ditunggu: siapa yang akan traktir hari ini? Suasana penuh canda tawa, dengan masing-masing orang saling melempar tawaran, “Santai, kali ini gue yang bayar!” atau “Udah, biar gue aja yang traktir!”
Traktiran bukan sekadar soal mentraktir makanan atau minuman, tetapi menjadi simbol kebersamaan dan rasa syukur atas rezeki yang dimiliki. Entah itu karena baru gajian, mendapat rezeki tambahan, atau sekadar ingin berbagi kebahagiaan, orang-orang berlomba-lomba menunjukkan kepedulian mereka lewat traktiran.
Namun, zaman telah berubah. Kini, momen itu semakin jarang terjadi. Bukannya berebut untuk membayar tagihan, banyak yang justru sibuk menghitung pengeluaran mereka sendiri. Jika dulu nongkrong identik dengan berbagi, kini banyak yang lebih memilih prinsip "bayar masing-masing" atau bahkan menghindari pertemuan yang berpotensi menguras dompet.
Apakah ini tanda bahwa budaya traktir perlahan menghilang? Ataukah ini hanya bentuk adaptasi terhadap realitas ekonomi yang semakin sulit?
Dari Berlomba-lomba Traktir, Kini Berlomba-lomba Berhemat
Beberapa tahun lalu, terutama di lingkungan kerja, kampus, atau tempat tinggal, tidak jarang kita melihat seseorang dengan bangga berkata, “Sudah, saya yang traktir!” dengan wajah penuh senyum. Momen itu bukan hanya soal membayar makanan atau minuman, tetapi juga menjadi bentuk kepedulian dan ikatan sosial yang erat.
Traktiran sering kali dilakukan tanpa beban. Ada yang mentraktir karena baru gajian, ada yang ingin merayakan sesuatu, atau sekadar ingin berbagi kebahagiaan dengan teman-temannya. Suasana nongkrong pun terasa lebih hangat, penuh canda tawa, dan jauh dari rasa perhitungan. Jika hari ini satu orang yang mentraktir, besok atau lusa gantian yang lain. Semua berjalan dengan alami, tanpa ada rasa sungkan atau keterpaksaan.
Namun, kini pemandangan seperti itu semakin jarang terlihat. Banyak orang yang dulu dengan senang hati mentraktir, kini mulai berpikir ulang sebelum menawarkan hal yang sama. Kondisi ekonomi yang semakin sulit membuat orang lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang, bahkan untuk hal-hal yang dulunya terasa ringan.
Kini, ajakan nongkrong lebih sering diiringi dengan kalimat, “Tapi kita bayar masing-masing ya,” atau bahkan dihindari sama sekali karena dianggap sebagai pengeluaran yang tidak perlu.
Ketika Nongkrong Berubah Menjadi Nafsi-nafsi