"Tahun 2025 menandai seratus tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, seorang maestro sastra Indonesia yang meninggalkan warisan intelektual luar biasa."
Sebagai penulis yang karyanya kerap menggugah kesadaran, Pram tidak hanya menulis cerita, tetapi juga merajut narasi sejarah, perlawanan, dan kemanusiaan dalam setiap lembar bukunya.
Di sepanjang hidupnya, ia menghadapi penindasan, pemenjaraan, dan pembungkaman, namun tak sekalipun berhenti menulis. Karyanya tetap hidup, melampaui batas zaman dan terus relevan dalam berbagai aspek kehidupan.Â
Bumi Manusia, Rumah Kaca, Gadis Pantai, Arus Balik semuanya bukan sekadar buku, tetapi juga rekaman sejarah dan perlawanan yang mengajak kita berpikir lebih kritis tentang dunia di sekitar kita.
Kini, satu abad setelah kelahirannya, kita kembali dihadapkan pada pertanyaan penting: Apa yang masih bisa kita pelajari dari Pram? Apakah pemikirannya masih relevan dengan kondisi sosial, politik, dan budaya saat ini?Â
1. Kritik terhadap Ketidakadilan dan Penindasan
Pram dikenal sebagai penulis yang vokal dalam menyuarakan ketidakadilan. Melalui karya-karyanya, ia menyuarakan penderitaan rakyat jelata yang seringkali terpinggirkan oleh kekuasaan dan sistem yang tidak adil.Â
"Bumi Manusia," novel pertama dalam Tetralogi Buru, misalnya, tidak hanya bercerita tentang cinta, tetapi juga menyuguhkan potret nyata kolonialisme yang menindas kehidupan pribumi.
Membaca karya-karya Pram membuat kita merenung, bahwa bentuk-bentuk penindasan tersebut masih hadir dalam wajah yang berbeda di masa kini. Ketimpangan sosial, ketidakadilan hukum, diskriminasi ras dan gender, serta kesenjangan ekonomi semua ini adalah manifestasi dari penindasan yang dahulu ia kritik.Â
Pram mengajarkan kita untuk tidak tinggal diam. Melalui tokoh-tokohnya yang berani dan tegas, ia memberi contoh bahwa kesadaran akan hak dan keberanian untuk melawan adalah langkah pertama menuju perubahan.