Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Saya menjadi penulis sejak tahun 2019, pernah bekerja sebagai freelancer penulis artikel di berbagai platform online, saya lulusan S1 Teknik Informatika di Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Tahun 2012.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Budaya Konsumtif di Era Promo: Apakah Diskon Membuat Kita Boros?

22 Januari 2025   08:52 Diperbarui: 22 Januari 2025   08:48 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era digital seperti saat ini, budaya konsumtif semakin melekat pada masyarakat. Hal ini didorong oleh kemudahan akses terhadap berbagai platform belanja online dan maraknya promosi yang menggoda. 

Diskon besar-besaran, flash sale, hingga program loyalitas pelanggan seakan menjadi magnet yang sulit ditolak. Tak hanya itu, media sosial juga berperan besar dalam membentuk pola konsumsi masyarakat, dengan konten-konten yang memamerkan gaya hidup mewah atau tren terbaru. 

Akibatnya, belanja bukan lagi sekadar memenuhi kebutuhan, tetapi juga menjadi cara untuk mencari kepuasan emosional dan eksistensi di lingkungan sosial.

Namun, apakah budaya konsumtif ini benar-benar memberikan manfaat, atau justru menyimpan risiko yang dapat merugikan kita di kemudian hari? 

Fenomena “FOMO” dan Psikologi Diskon

Promo dan diskon dirancang untuk memicu perilaku impulsif. Strategi ini sengaja dibuat untuk menciptakan urgensi dalam pengambilan keputusan. Dengan kata lain, konsumen didorong untuk segera membeli tanpa berpikir panjang. Frasa seperti “Hanya hari ini!” atau “Diskon hingga 80%, jangan sampai ketinggalan!” menjadi alat pemasaran yang efektif dalam memanfaatkan kelemahan psikologis manusia.

Penempatan angka diskon yang besar di iklan sering kali membuat konsumen lebih fokus pada besarnya potongan harga, bukan pada nilai barang tersebut atau kebutuhan mereka sebenarnya. Misalnya, ketika sebuah produk berharga Rp1.000.000 diberi label diskon 50%, orang cenderung merasa ini adalah “kesempatan langka” tanpa mempertimbangkan apakah produk itu benar-benar mereka butuhkan.

Hal ini semakin diperparah dengan strategi pemasaran seperti menampilkan harga sebelum diskon yang sengaja dibuat lebih tinggi dari nilai aslinya untuk menciptakan ilusi “keuntungan besar.” Konsumen merasa telah mendapatkan potongan harga signifikan, padahal harga setelah diskon mungkin tidak jauh berbeda dari harga normal di tempat lain.

Selain itu, adanya gimmick seperti “beli lebih, hemat lebih” juga mendorong pembelian dalam jumlah besar, meskipun barang tersebut mungkin tidak diperlukan dalam waktu dekat. Sebagai contoh, seseorang mungkin membeli lima bungkus deterjen hanya karena ada promo beli empat gratis satu, tanpa memikirkan bahwa satu bungkus saja sudah cukup untuk kebutuhan sebulan. 

Akibatnya, pengeluaran total meningkat, dan barang yang tidak segera digunakan justru berpotensi menjadi tidak efektif atau rusak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun