Dalam beberapa tahun terakhir, konsep self-love atau mencintai diri sendiri menjadi sangat populer di berbagai kalangan. Ide ini sering kali diangkat dalam diskusi tentang kesehatan mental, pengembangan diri, dan keseimbangan hidup.Â
Banyak orang mulai menyadari pentingnya memberikan perhatian pada kebutuhan diri, baik secara fisik maupun emosional, terutama di tengah tekanan hidup modern yang semakin kompleks.
Namun, seiring meningkatnya popularitas konsep ini, muncul berbagai interpretasi yang berbeda-beda. Ada yang melihat self-love sebagai bentuk perawatan diri yang positif, sementara yang lain menganggapnya sebagai pembenaran untuk bersikap individualis atau bahkan egois.Â
Hal ini menimbulkan perdebatan: apakah fokus pada mencintai diri sendiri benar-benar membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik, atau justru dapat membuat kita terjebak dalam sikap mementingkan diri sendiri?
Pada dasarnya, self-love adalah upaya untuk menghargai dan merawat diri sendiri dengan cara yang sehat. Ini melibatkan pengakuan terhadap nilai diri, menerima kekurangan, serta merawat kesehatan fisik, mental, dan emosional tanpa menuntut kesempurnaan.Â
Self-love mendorong seseorang untuk memahami kebutuhannya sendiri dan mengambil tindakan yang mendukung kesejahteraan pribadi, seperti beristirahat ketika lelah, menjauh dari hubungan yang toksik, atau memprioritaskan waktu untuk hal-hal yang memberikan kebahagiaan.
Namun, self-love juga membutuhkan kesadaran dan keseimbangan. Sebuah langkah mencintai diri sendiri yang sehat adalah ketika tindakan tersebut tidak hanya menguntungkan diri sendiri, tetapi juga tetap memperhatikan hubungan dan dampaknya terhadap orang lain.Â
Filosofi ini bertujuan menciptakan harmoni antara kepedulian terhadap diri sendiri dan rasa tanggung jawab sosial, sehingga tidak menjadi pembenaran untuk perilaku egois.
Perbedaan Self-Love dan Egoisme