Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Menulis Artikel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Hustle: Masihkah Efektif di Dunia yang Serba Fleksibel?

2 Januari 2025   18:30 Diperbarui: 2 Januari 2025   16:30 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi budaya hustle/ dorongan untuk terus bekerja (sumber gambar: eatnow.id)

"Di era digital, budaya hustle dorongan untuk terus bekerja keras, bahkan di luar batas kemampuan pernah dianggap sebagai kunci menuju kesuksesan."

Namun, seiring waktu, pandangan ini mulai dipertanyakan. Di balik cerita sukses yang sering diagungkan, tersembunyi realitas pahit berupa kelelahan kronis, kesehatan mental yang terganggu, dan hubungan pribadi yang terabaikan. Budaya hustle, yang mengajarkan bahwa tidur adalah musuh dan istirahat adalah tanda kelemahan, perlahan menjadi beban bagi banyak individu yang mencoba mengejar ambisi mereka.

Kini, dengan perubahan pola kerja yang lebih fleksibel dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya keseimbangan hidup, muncul pertanyaan: apakah budaya hustle masih relevan? Apakah terus-menerus "mendorong batas" adalah cara terbaik untuk mencapai kesuksesan di dunia yang semakin menghargai fleksibilitas, kreativitas, dan kesejahteraan pribadi?

Evolusi Dunia Kerja

Pandemi global, kemajuan teknologi, dan transformasi budaya kerja telah membawa paradigma baru dalam cara kita memandang produktivitas. Sistem kerja jarak jauh, yang dulunya hanya diterapkan segelintir perusahaan progresif, kini menjadi norma di banyak industri. Karyawan tidak lagi diharuskan hadir di kantor selama delapan jam penuh untuk dianggap produktif. Sebaliknya, fleksibilitas dalam menentukan waktu dan tempat kerja menjadi prioritas baru.

Perusahaan mulai beralih dari pola pikir tradisional yang mengukur produktivitas berdasarkan jumlah jam kerja, menuju pendekatan berbasis hasil. Ini memungkinkan pekerja untuk fokus pada kualitas pekerjaan mereka tanpa tekanan untuk "terlihat sibuk." Tren ini juga didukung oleh teknologi seperti aplikasi manajemen tugas, alat kolaborasi online, dan kecerdasan buatan yang membantu meningkatkan efisiensi kerja.

Di sisi lain, generasi muda khususnya milenial dan Gen Z mengusung nilai yang berbeda. Mereka lebih menghargai keseimbangan hidup dan kerja, serta menolak norma kerja berlebihan yang dianggap tidak sehat. Dalam konteks ini, budaya hustle yang menekankan kerja keras tanpa henti mulai kehilangan relevansinya di dunia yang semakin mengutamakan fleksibilitas dan kesejahteraan.

Dampak Negatif Budaya Hustle

Meskipun terlihat memotivasi, budaya hustle sering membawa dampak negatif yang signifikan, baik secara fisik maupun mental. Burnout menjadi salah satu konsekuensi terbesar, di mana individu mengalami kelelahan kronis akibat tekanan untuk terus bekerja tanpa henti. Burnout tidak hanya mengurangi produktivitas, tetapi juga dapat memicu masalah kesehatan serius seperti gangguan tidur, depresi, hingga penyakit kardiovaskular.

Selain itu, budaya ini menciptakan standar yang tidak realistis. Orang merasa tertekan untuk selalu terlihat sibuk dan produktif, bahkan jika itu berarti mengorbankan waktu istirahat, hubungan pribadi, atau hobi. Hal ini memunculkan rasa bersalah ketika seseorang mencoba mengambil waktu untuk diri sendiri, seolah-olah mereka gagal memenuhi ekspektasi masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun