"Dalam sistem demokrasi, hubungan antara rakyat dan pemimpin idealnya dibangun di atas kepercayaan dan rasa hormat."
Kepercayaan menjadi landasan bagi legitimasi, sementara rasa hormat memastikan hubungan antara kedua pihak tetap dilandasi nilai-nilai kemanusiaan dan moral. Pemimpin yang dihormati adalah mereka yang mampu mendengarkan suara rakyat, bertindak adil, dan mewujudkan aspirasi bersama tanpa mengorbankan kebebasan individu atau hak-hak asasi manusia.
Namun, ketika hubungan ini digantikan oleh rasa takut, dinamika demokrasi berubah secara mendasar. Rasa takut menciptakan ketimpangan dalam hubungan tersebut, di mana rakyat merasa terpaksa tunduk bukan karena keyakinan pada pemimpin, tetapi karena ancaman atau kekhawatiran terhadap konsekuensi. Akibatnya, demokrasi yang sejatinya mengutamakan partisipasi dan keterbukaan mulai kehilangan pijakannya.
Ketakutan membuat ruang dialog menjadi sempit, menghalangi kritik konstruktif yang dibutuhkan untuk memperbaiki sistem. Dalam situasi ini, pemimpin mungkin tampak kuat, tetapi kekuatan tersebut rapuh karena tidak berdiri di atas dukungan sejati. Demokrasi yang dirancang untuk memberdayakan rakyat justru terancam berubah menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan satu pihak.
Jika kepercayaan dan rasa hormat adalah bahan bakar demokrasi, maka ketakutan adalah api yang perlahan menghanguskannya dari dalam. Pertanyaannya, mampukah demokrasi bertahan ketika rakyat lebih banyak diam karena takut daripada berbicara karena percaya?
Ketakutan rakyat terhadap pemimpin sering kali lahir dari kebijakan represif, retorika yang intimidatif, atau sistem hukum yang digunakan sebagai alat kekuasaan. Dalam kondisi seperti ini, demokrasi mulai kehilangan esensinya sebagai sistem yang memberikan ruang bagi kebebasan berekspresi dan partisipasi publik. Ketika rakyat merasa terancam untuk menyampaikan pendapat, pengawasan terhadap pemimpin melemah, dan potensi penyalahgunaan kekuasaan semakin besar.
Ketakutan juga menciptakan jarak emosional antara pemimpin dan rakyat. Pemimpin yang semestinya menjadi pelindung dan pengayom malah dianggap sebagai ancaman. Akibatnya, alih-alih bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, rakyat menjadi pasif atau bahkan apatis terhadap proses politik. Demokrasi yang bergantung pada keterlibatan aktif masyarakat berubah menjadi sekadar prosedur formal tanpa semangat keterwakilan sejati.
Ketakutan juga dapat mengikis rasa percaya. Pemimpin yang memerintah melalui intimidasi mungkin mendapatkan kepatuhan, tetapi kepatuhan yang lahir dari rasa takut tidaklah tulus dan bersifat sementara. Ketika rasa percaya hilang, rakyat tidak lagi melihat pemimpin sebagai pihak yang memperjuangkan kepentingan mereka, melainkan sebagai ancaman yang harus diwaspadai. Akibatnya, hubungan antara pemimpin dan rakyat berubah menjadi hubungan transaksional yang kering dari nilai-nilai demokrasi sejati.
Dalam kondisi ini, komunikasi antara rakyat dan pemimpin terganggu. Aspirasi masyarakat sering kali tidak sampai, karena mereka takut berbicara atau mengungkapkan pendapat. Tanpa umpan balik dari rakyat, kebijakan yang dibuat pemimpin menjadi tidak relevan atau bahkan merugikan, sehingga memperburuk rasa ketidakpercayaan yang sudah ada.
Rasa takut juga merusak solidaritas sosial. Ketika masyarakat saling mencurigai dan takut untuk bersuara, rasa kebersamaan dalam memperjuangkan hak dan keadilan semakin melemah. Demokrasi, yang pada hakikatnya adalah sistem yang mengutamakan kerja sama dan partisipasi kolektif, kehilangan ruhnya.